Memperebutkan Teman #1

65 51 7
                                    

Hari yang terang benderang. Jam telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Semua siswa/i Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Tunas Harapan berbaris di depan kelasnya masing-masing.

Fyi.
MDA Tunas Harapan, merupakan salah satu MDA pendidikan keagamaan jalur luar sekolah (non-formal) yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar (setara SD) dengan masa belajar 4 (empat) tahun. Waktu sekolah di MDA Tunas Harapan pun di bagi atas 2 (dua) yaitu kelas sore (kita beri simbol "s") dan kelas pagi (kita beri simbol "p").

Sebelum kelas dimulai, kepala sekolah masuk ke dalam kelas 4s, membawa seorang anak perempuan yang memakai pakaian muslim rapi.

"Sepertinya anak baru," bisik siswa/i kelas 4s.

"Assalamu'alaikum warohmatullah. Baik anak-anak semua, sebelum pelajaran di mulai bapak ingin menyampaikan bahwa kelas kalian ke datangan murid baru," kata kepala sekolah.

"Kamu, duduk di bangku yang kosong. Nanti perkenalannya sama guru yang mengajar saja. Baiklah, bapak tinggal dulu. Assalamu'alaikum warohmatullah." Sambung kepala sekolah, lalu meninggalkan kelas dengan terburu-buru.

Kemudian masuklah seorang laki-laki yang parasnya begitu syahdu di pandang memakai peci di kepala, membawa buku di tangannya, lalu ia mengucapkan salam. Siswa/i pun menjawab salam dengan semangat ketika lelaki ini masuk.

"Ohiyaa, kita ada murid baru kan yaa? Ayo maju dulu ke depan, perkenalkan dirinya." Kata lelaki sedang duduk di meja guru. Ternyata ia adalah salah satu guru di MDA Tunas Harapan. Ia tergolong masih muda untuk menjadi seorang guru.

Siswi itu pun berjalan ke depan kelas, mengikuti arahan guru.

"Perkenalkan nama saya Zalisa Dwiyananta, biasa di panggil Ica," katanya singkat. Ia terlihat begitu canggung di depan kelas, tampak dari bola matanya yang memandang ke sembarang arah, sesekali memandang ke bawah dengan memainkan jari telunjuknya.

"Sudah nak? Baik. Teman-teman ada yang ingin bertanya tidak?" Kata pak guru. Siswa/i terdiam, namun ada juga yang menjawab tidak.

"Kalau tidak ada, boleh duduk kembali nak. Nama bapak pak Ali." Ujarnya. Kemudian anak perempuan yang sudah memperkenalkan dirinya kembali ke tempat duduk.

Pelajaran pun dimulai. Diawali dengan pembacaan asmaul husna dan ayat-ayat pendek, lalu masuk ke materi pembelajaran.

Ting ting ting, ting ting ting. Bunyi lonceng tanda istirahat.

Inilah yang paling ditunggu-tunggu, jam istirahat. Anak-anak akan segera memburu pintu kelas dan lari berhamburan. Masing-masing dari mereka menganggap waktu bagaikan emas, waktu istirahat tepatnya. Seperti biasa, mereka akan bermain kejar-kejaran, berlarian kesana kemari di lapangan sambil tertawa terbahak-bahak. Di lapangan juga tersedia permainan anak-anak, seperti ayunan, pelosotan, pesawat terbang dan lain-lain.

Bagi yang sudah menahan lapar, baik yang belum makan maupun yang sudah, biasanya mereka akan segera menuju kantin. Hingga kantin terlihat seperti pasar, berhimpit-himpitan, sesak, dan panas. Ada pula yang tetap di kelas seperti Ica, karena ia tidak tahu harus kemana dan melakukan apa. Kemudian beberapa teman sekelasnya mengajak ia membeli jajan di kantin. Ia pun merasa senang.

Kembalinya mereka dari kantin, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki datang ke kelas 4s.

Tok tok.

"Assalamu'alaikum. Ada yang namanya Zalisa? Di panggil ke ruangan kepala sekolah." Ucapnya. Segera saja Zalisa pergi mendatangi ruang kepala sekolah.

"Zalisa, seragamnya nanti akan diberikan satu bulan kedepan, karena ada 3 seragam lagi yang harus dijahit. Ini seragam olahraga sudah ada, wajib digunakan pada hari Sabtu." Tutur seorang guru yang sekaligus adalah istri dari kepala sekolah. Ia mengajar di kelas 0 besar.

Zalisa mengangguk, segera ia berpamitan pada ibu guru untuk kembali ke kelas lalu mencium tangannya.

Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, terdengar suara seseorang memanggil Ica,

"Eh,"

"Eh, jilbab dongker," panggil seseorang itu dengan agak tidak sopan, karena tidak tahu nama Ica dan dari kelas berapa ia. Ica menoleh ke belakang karena merasa terpanggil, hanya ia yang memakai jilbab dongker, karena semua siswa perempuan di MDA menggunakan jilbab putih dan baju seragam. Lalu orang itu mendekati Ica.

"Abis dari dalam kan? Eh tadi nampak gak baju-baju seragam di dalam, biasanya di tumpuk-tumpuk gitu." Tanyanya. Ia adalah siswa perempuan. Ica hanya menggelengkan kepala.

"Masa' gak nampak sih, biasanya tu di bawah di sebelah meja." Gerutunya pada Ica.

"Yaudah deh."

Baru saja Ica membalikkan badan, siswa perempuan itu memanggil Ica kembali.

"Eh, eh, eh, kau anak baru ya? Kelas berapa?"

"Kelas 4."

"Oh, Siapa namamu?"

"Ica,"

"Namaku Fitri Ariyanti, panggil aja Ipit. Oh iya aku balik ke kelas dulu, bye." Ucapnya, lalu meninggalkan Ica di tempat sambil berlari ke arah kelas 3. Oh, dia kelas 3 (tiga), gumam Ica dalam hati.

Keesokan harinya, Ica bertemu lagi dengan Ipit di kantin saat mereka membeli jajan. Ia sibuk meracau di depan Ica, namun Ica hanya menunjukkan cengirnya sambil mengiyakan apa yang ia katakan.

"Ooo kak, abis ini kakak mau kemana?" Tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih sopan.

"Ke kelas." Jawab Ica dengan singkat.

"Gak main? Yah gak seru, masa' di dalam kelas aja. Ayok abis ini kita main. Aku tunggu di depan kelas kakak, kalo makanan kita udah habis yaaa. Bye kak, aku ke kelas dulu." Ia langsung berlari ke kelasnya, tanpa mendengarkan jawaban dari Ica.

Selesai makanan yang mereka makan di kelas masing-masing itu pun habis, Ipit segera berlari ke kelas 4s. Ia mengintip-ngintip dari balik jendela, sambil melompat-lompat karena kakinya yang tidak sampai.

"Ca, tuh ada adek-adek yang tadi ngobrol sama kau di kantin," kata salah teman Ica sambil menunjuk ke arah Ipit. Ipit pun senang saat Ica menyadari keberadaannya. Ia pun segera keluar dari kelas.

"Kak, ayok main pelosotan," ajak Ipit sambil menarik tangan kakak kelasnya itu tanpa mendengar sepatah kata pun darinya.

Setibanya di taman, terlihat siswa-siswi yang begitu ramai bermain, hal itu membuat mereka harus bergantian menggunakan fasilitas permainan.

"Kak, ayo dorong!" Seru adik kelas Ica saat itu.

Rasanya memang lebih nikmat bila bermain pelosotan didorong oleh teman yang berada di belakang. Ipit berteriak kegirangan, membuat Ica tersenyum karena tingkah lakunya. Ipit membalasnya dengan mendorong badan Ica yang sudah duduk di pangkal pelosotan. Ica terkejut, sedangkan ia sudah meluncur dengan kencang di permukaan pelosotan hingga bokongnya terjatuh ke bawah tanah. Ipit menertawakannya dari atas, seolah menunjukkan bahwa pertahanan Ica lemah sekali. Ica pun ikut tertawa meski bokongnya terasa sakit. Mereka pun semakin akrab dan melanjutkan permainan.

***Bersambung***

Kita Masih Dalam Masa PertumbuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang