#3

76 57 12
                                    

Setelah sekian lama percakapanku dengan ibu berlalu, aku bertanya pada ibu apakah ia sudah mengurus proses pergantian nama. Namun ibu tidak memberi jawaban pasti, ia hanya mengalihkanku pada pembicaraan lain.

Aku terus mendesak ibu dengan pertanyaan tersebut,

Prangg!

Pecahlah sebuah piring yang sedang dicuci ibu, jatuh ke bawah lantai. Aku tersentak kaget, hatiku seketika ikut pecah bersama kepingan kaca yang berserak di dekat kakiku. Ibu marah sebab aku mengganggu pekerjaannya, ia lelah menjelaskan padaku yang terus menerus mendesaknya.

"ANTIII..., Nanti saja bisa tidak? Ibu sedang sibuk, pergi main saja sana!" Kata ibu dengan dan kesal sekaligus marah.

Aku menitikkan air mata. Ketika aku hendak berlari keluar rumah, tanpa sengaja aku menginjak pecahan piring yang berada di belakang kakiku sebelumnya.

"Aaakkkhh,"

Ayah yang saat itu sedang menonton televisi, langsung datang ke dapur karena mendengar jeritanku.

"Kenapa? Mck, alah-alah, kok bisa berdarah? Loh kenapa pecahan piring berserak disini?" Tanya ayah. Segera saja ayah menggendongku untuk pergi dari dapur dan mendudukkanku di sofa ruang tengah rumah, lalu ia mengambil kotak p3k. Aku yang tengah berusaha menahan isak tangis, akhirnya merengek juga karena kesakitan. Ayah membalut lukaku dengan segera, namun aku terus saja menangis dengan kencang tanpa henti. Ayah mencoba menenangkanku, bahwa lukaku tidak apa-apa, akan segera sembuh. Akan tetapi, aku tidak hanya menangis karena kakiku yang terluka. Aku tidak mengerti, rasanya seperti banyak sekali alasan yang membuatku memecah tangis. Begitu kalut untuk menjelaskan satu persatu alasannya.

"Sudah, tidak papa kok. Tengok, darahnya sudah hilangkan," kata ayah.

Aku tetap saja merengek, hingga ayah kebingungan, mengapa tangisanku semakin kencang. Ia mem-pukpuk punggungku sambil bertanya ada apa. Lalu dari belakang dapur ibu menjawab pertanyaan ayah yang ditujukan padaku.

"Kak Acha mau ganti nama?" Tanya ayah padaku. Perlahan aku memelankan suara tangisanku dan mengelap air mata yang memenuhi mataku. Lalu ayah melanjutkan perkataannya,

"Kenapa mau diganti?"

Dengan suara yang serak, pelan-pelan aku menjawab pertanyaan ayah. Tanpa menceritakan secara keseluruhan, aku memberitahunya secara singkat alasanku ingin mengganti nama. Namaku tidak ada satu orang pun didunia ini yang memilikinya, nama yang jelek. Tidak ada arti yang istimewa bahkan tidak enak didengar. Sesingkat itu saja.

"Justru karena tidak ada orang yang punya nama sama seperti kakak, makanya nama kakak bagus dan unik. Coba yang lain, banyak namanya yang sama kan? Susah manggilnya, kayak mana mau bedain? Misalnya, namanya sama-sama Riski, kita mau panggil yang satu terus yang lain nyahut kan, malu dong salah kira. Nama kakak bukan tak ada artinya. Nama kakak gabungan dari nama ibu dan ayah, juga dari nama artis cantik dari luar negeri. Bagus kan? Tidak ada di dunia ini yang sama namanya seperti kakak, itulah kelebihannya."

Baru kali ini aku merasa tersentuh atas ucapan ayahku, rasanya aku ingin sekali menangis lagi, dan tersedu-sedu dipelukannya. Ia seolah membelaku, padahal sebenarnya hal itu wajar saja dilakukan oleh seorang ayah. Aku begitu terharu, sampai hatiku ingin meleleh. Aku ingin berterus terang pada ayah, bahwa membawa nama ini sugguh berat. Aku terus merasa kesialan yang menimpaku selama ini yang disebabkan oleh namaku sendiri. Namun, setelah penjelasan dari ayah aku mulai berpikir terbuka dan sadar, bahwasanya aku lah yang berpikir bahwa nama ini yang membawa sial, maka datanglah kesialan itu padaku. Tetapi tidak, pikiran sempit itu yang membatasi aktivitas dan mentalku. Sejauh ini aku bahkan tidak pernah terluka parah, bahkan tubuhku sehat dan sempurna. Air mata terus mengairi pipi lembutku tanpa suara rengekkan yang membuat bising. Kali ini tangisan haru, tangisan murni kepada ayah yang telah menyentuh hatiku. Aku memeluknya erat.

Aku tersenyum pada ayah setelah mengusap air mata yang membuat mataku kian memerah. Ibu tampak lega, karena ayah sudah menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan kepadaku dan aku dengan mudahnya mengerti. Selesai acara rengek-merengekku itu, ayah menceritakan bagaimana asal-usul namaku diberikan. Aku begitu antusias untuk mendengarnya. Tidak lagi merasa cemas dan kecewa, aku malah mengistimewakan namaku ini dan tidak lagi menyembunyikannya.

**

Kelas 1 SMP

"Pekenalkan nama saya Anti Kareena, ..." Perkenalanku yang begitu membanggakan.

*TAMAT*

Kita Masih Dalam Masa PertumbuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang