4

2.1K 426 23
                                    

Arkan dan akmal sudah sampai di teras, namun mereka bingung karena tidak melihat refan diantara mereka.

"Loh Fis, Refan mana?"

"Akmal lo kenapa!"

Pertanyaannya belum dijawab malah pada balik nanya, Akmal memutar bola matanya malas.

"Ntar gua jelasin, tapi ini si Refan mana?"

"Ohh Ref-"

Belum sempat menyelesaikan omongannya, refan sudah datang dari dalam dengan keadaan pucat.

"Eh, Fan. Kok lo pucet banget, kenapa?"

Awalnya Refan lega karena teman-temannya sudah lengkap. Namun yang kembali membuatnya lebih pucat adalah benda yang dipegang oleh Arkan.

"Lo ngapain bawa-bawa itu?"

Refan tak henti-hentinya menepis pikiran jika benda yang dipegang Arkan dan apa yang dilihatnya di kamar mandi saling berhubungan.

Mendengar Refan mengatakan itu sontak membuat tatapan Hafis, Alen, dan Adrian beralih menatap tangan Arkan. Dan pada akhirnya semua terkejut.

Berbeda dengan pikiran Refan, beda juga pikiran Hafis, Alen, dan Adrian. Mereka curiga ada hubungannya luka Akmal dengan benda yang dipegang itu.

Seakan bisa membaca pikiran temannya, Akmal pun langsung duduk lesehan di teras itu dan mengajak yang lainnya.

"Lo pada duduk sini dulu, gue jelasin, berprasangka buruk aja bisanya lo pada."

Setelah Akmal mengatakan itu, semua langsung duduk, dan Akmal yang baru saja ingin menjelaskan sudah dipotong dengan Arkan.

"Gue aja yang jelasin."

Tapi sebelum ia berbicara, ia meletakkan benda yang ia pegang di tengah mereka.

"Dengerin dulu aja ya."

"Jadi tadi waktu gue sama Akmal mau ngambil bola di lemari, yang ketemu bukan bola, tapi kantong plastik putih yang udah kotor sama darah kering. Terus waktu kita buka, isinya tulang yang juga udah kering darahnya, terus tiba-tiba ada itu pisau yang dilempar entah dari mana tapi untungnya meleset dan cuman ngegores lengan si Akmal."

"Gua lanjutin aja deh."

"Terus akhirnya Arkan ngobatin luka gue di sana, tapi waktu dia balikin kotak P3K ke laci tangannya juga kegores, noh dia plester. Abis itu kita mutusin buat keluar nemuin kalian, dan nih bocah malah ngambil itu pisau."

"Anjir bang, lo pada lagi nggak ngehalu kan?"

"Nggak mungkin, seserem itu masa bang."

"Ya kalo kita cuma halusinasi, kaga mungkin gue ngerasa seperih ini dong, bangsat."

"Lagian kalo kita halu, itu pisau kaga gue bawa sekarang, zulfikar!"

"Nama gue bukan Zulfikar!"

"Eh btw terus lo kenapa, Fan? Lo nggak mendadak sakit kan?"

"Eh iya, lo pucet banget anjir."

"Bang, lo syok gitu ada apa? Cerita lah bang."

"Jadi.. tadi kan gua ke kamar mandi karena kebelet, tapi pas gua mau keluar gua liat bak mandi di kamar mandi itu, keruh darah."

"Fan, serius lo?"

Refan hanya mengangguk, dan kemudian bersuara.

"Padahal pas masuk gue liat nya itu juga air, pas gue nyiram juga masih air kok, bening juga. Tapi pas mau keluar gue mulai liat keruh darahnya, jadi gue langsung aja lari keluar. Tapi pas gue liat lo bawa pisau gua makin syok, gue udah mikir yang enggak enggak ke lo, sorry ya."

"Ini sebenernya ada apa sih anjir."

Dan tepat setelah Hafis mengatakan itu, benda yang sama pun dilempar dari belakang Hafis, tapi lagi dan lagi meleset.

Benda itu lewat tepat di samping telinga hafis dan tergeletak persis di sebelah pisau yang dibawa arkan dari dalam.

"Ya Tuhan, noleh dikit langsung beda alam gue tadi."

Grandma House ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang