Cipratan darah yang tak ada hentinya, seorang pria telah tersungkur tak berdaya dengan sayatan disekujur tubuhnya.
"Masih ingin bersenang-senang?" Pemuda itu mengangkat belatinya sembari menatap korbanya yang sudah sekarat.
"Apakah kau menikmatinya?" Tidak menghentikan kegiatannya, si pemuda kembali menendang kepala pria itu hingga lagi-lagi terdengar suara benturan.
"He......henti.....kan.....akh....."
"Apakah ini sakit? Apakah kau tau bahkan apa yang kau lakukan pada keluargaku lebih menyakitkan?" Senyum miring dengan tangan yang menarik keras rambut hitam korbannya, rambut yang lepek karena darah yang menyelimutinya.
"Ok,.... aku sedang berbaik hati sekarang, bagaimana jika selesaikan ini disini." Pemuda itu bangkit setelah meludahi pria tak berdaya itu.
Kembali mengayunkan belatinya dan perlahan kembali ia berikan sayatan di leher korbannya.
"Akh.......!"
"Sakit ini tak akan lama, setelah belatiku memotongmu sempurna."
"Akh.......... argh........"
Rintihan, itu semakin kuat terdengar namun seiring darah dan belati yang semakin dalam. Suara itu hilang bersama senyum kepuasan si pemuda berdarah dingin itu.
"Tak cukup memuaskan." Pemuda itu bangkit menyenderkan tubuh tak bernyawa itu di salah satu bilik toilet.
Mengangkat kepala korbanya yang terpisah dari tubuhnya dan menggantungnya di atas di pintu tolilet dengan menusuknya dengan belati.
Darah yang mengalir dari kepala itu ia tadah mengunakan tangannya dan mengusapkan darah kental itu pada kaca di toilet.
"Ini barulah yang disebut karya seni." Tanpa sesal dan rasa takut pemuda itu pergi meningglkan TKP dengan langkah ringannya bahkan ia masih dapat bersenandung.
***
"Appa, kau kah itu?" Seorang pemuda melangkahkan kakinya menuruni tangga saat mendengar pintu utama terbuka."Kau belum tidur?" Pemuda itu menghela napas lega, saat mendengar balasan dari suara yang ia kenal.
"Kau juga baru pulang, apa ada masalah Tae?" Jimin menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya disana.
Sementara lawan bicaranya tengah meneguk minumannya rakus. Menatap sesaat kaleng sodanya sebelum melemparnya masuk kedalam tempat sampah.
"Anni, bagaimana dengan eomma? Kau sungguh menemuinya hari ini?" Taehyung mendekati saudaranya dan menatapnya intens.
"Kami tak bertemu hari ini, ia mengatakan jika akan menemui ku besok. Kau sungguh tak ikut denganku?"
"Tidak, kau seharusnya juga tak perlu menemuinya. Aku lelah, sebaiknya kau juga segera tidur." Jimin hanya menatap saudara kembarnya berjalan menjauh.
Bangkit dari kursi dan membersihkan meja sebelum ia menuju lantai atas.
Tangan pucat itu mendekati knop pintu dan memutarnya. Pintu terbuka dan menunjukkan Taehyung yang terlelap di atas ranjangnya.
"Aish..... bocah itu, yak.....setidaknya ganti pakaianmu itu." Dengan emosi di ubun-ubun Jimin menarik paksa jaket yang Taehyung kenakan.
Jimin dibuat terkejut karena bercak darah di tangannya, jaket hitam Taehyung tak menampakkan jika ada darah disana namun saat Jimin menyentuhnya cairan merah itu begitu kontras di tangan putihnya.
"Astaga Tae kau terluka?!" Panik? Tentu saja. Jimin segera mengangkat tubuh Taehyung yang jauh lebih besar darinya.
"Jimin-ah, aku baik-baik saja tak perlu berlebihan." Secara kasar Taehyung menghempas tangan Jimin dan beranjak menuju kamar mandi.
"Tae, kau terluka." Tak ada balasan disana hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi sebagai balasan.
"Baik, terserah padamu." Jimin beranjak dari dalam kamar dan menutup pintu kayu cukup keras.
Taehyung mendengar semua, pemuda itu memilih bungkam sembari menahan matanya yang mulai memanas.
"Mianhae, aku melakukan ini untukmu Jimin-ah."
Anak sulung keluarga Kim itu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi di lantai bawah.
Menyalakan shower dan mulai membasahi tubuhnya, entah sejak kapan pemuda itu menggengam cutter. Jika ditanya cutter adalah benda yang tak bisa jauh dari Jimin.
Dengan lihai tangannya mulai memberikan sayatan di lengannya. Memang tak begitu dalam tetapi melihat jumlah yang cukup banyak dapat di bayangkan rasa sakit yang tercipta disana.
Darah segar mengalir menghiasi lantai, namun segera larut bersama air.
Self-injury, tak bisa dianggap remeh. Berulang kali Jimin melakukan usaha bunuh diri, tetapi hal itu selalu gagal karena Taehyung. Tidak bukan karena Taehyung selalu tiba di saat yang tepat, tetapi Jimin sadar jika Taehyung akan terluka dan ia tak ingin hal itu terjadi.
Entah sudah berapa lama ia di buai dengan kesenagannya saat melihat darah itu mengalir di kulit putihnya.
Hingga, Jimin yang masih berada di dalam kamar mandi mendengar suara langkah dari anak tangga, disertai suara Taehyung yang memanggilnya.
Pemuda itu bergegas melepas pakaian basahnya dan menggunakan bathrobe bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan cepat menuju dapur.
"Jim."
"Oh, kau sudah mandi?" Jimin menoleh melihat Taehyung yang tengah mengeringkan rambutnya. Tak lupa menunjukkan senyuman seolah tak pernah rerjadi apapun.
"Kau juga baru mandi?"
"Ah.....ne, aku kotor lagi karenamu. Apakah kau mau teh hangat?" Jimin menatap saudaranya yang menatapnya intens. Berharap saja Taehyung tak akan bertanya apapun.
"Tidak, aku akan tidur. Mian atas kamarmu, kau bisa tidur di kamarku malam ini." Taehyung menatap gugup Jimin yang berbalik menatapnya tajam.
"Tenang saja aku sudah merapikannya." Tak ada respon dari Jimin membuat Taehyung semakin gugup.
"Su...sudahlah aku pergi dulu." Taehyung mulai beranjak dari tempatnya.
"Tapi Tae....."
"Sudahlah aku pergi kekamar dulu." Tak mendengarkan jimin yang memanggilnya, pemuda itu terus saja berjalan menaiki anak tangga.
"Apakah rambutmu bisa kering dengan hair dryer itu?" Gumam pelan Jimin meneruskan ucapannya. Menatap kabel hair dryer yang dibawa Taehyung menggantung begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Killin Me Now
General FictionMenjadi tersangka........ Selalu diperhatikan.......... Dan dia yang tak peduli........... Hanya ingin menjalani kehidupan normal sebagaimana remaja seusianya, namun berbagai kekurangan yang membelenggu disertai kebencian yang membara. Membuat mere...