Waktu menunjukkan pukul 10.15 seorang pemuda nampak menunggu dengan jengah di gerbang masuk universitas, pipi yang menggembunh karena tengah mengunyah sisa mini pie-nya.
"Ukh....ukh......" pemuda itu membungkuk dan tetus terbatuk, sepertinya remah pie itu berhasil mengusik tenggorokannya.
"Ukh......akh.....hyung.....ukh.....apa yang kau lakukan?" Tepukan yang membuat pemuda itu memekik tak terima.
"Makan perlahan masih untung bungkus pie itu tak ikut kau telan." Pemuda itu berujar dengan kikikan diakhir kalimatnya
"Aku sekarat dan hyung malah tertawa?" Pemuda dengan gigi kelinci itu merogoh air mineral yang ada di ransel pemuda lain yang dipanggilnya hyung.
"Apakah Jimin bersamamu?" Pemuda korban air mineral itu menatap pemuda yang lebih muda.
"Oh, ku pikir Jimin hyung pergi denganmu." Taehyung menggeleng dan berdecih pelan.
"Aku akan menghubunginya kalau begitu." Taehyung, merogoh saku celananya dan menarik benda pipih dari sana.
"Bagaimana? Apakah terhubung?" Jungkook mengintip layar ponsel sang kakak sekilas.
"Tersambung, tapi dia tak menangkat panggilanku."
"Mungkin Jimin hyung sudah ada di disana terlebih dulu." Ya...... ketiga saudara itu memiliki rencana untuk pergi ke Busan untuk menikmati udara pantai yang entah kapan terakhir kali mereka rasakan.
"Bagaimana bisa kau sangat yakin?"
"Kudengar jurusan arsitektur ada tugas proyek di sana." Taehyung mengangguk paham, pemuda itu merebut botol air mineralnya dan meneguk isinya hingga tandas.
"Baiklah kajja, jika tidak mau ketinggalan bus." Taehyung berjalan terlebih dulu, meninggalkan Jungkook di belakang.
Pemuda yang notabenenya saudara kembar Jimin itu hanya berharap jika Jimin benar-benar sudah ada di Busan.
Rencana pergi ini adalah untuk menghindari Jimin bertemu dengan sang ibu.
***
"Jimin-ah!" Panggilan seseorang memasuki rungu pemuda yang baru saja keluar dari gerbang kampusnya."Eomma? Mengapa eomma berada disini? Bukankah janji kita jam 9?"
"Apa maksudmu? Eomma sudah menunggu di kafe selama 2 jam. Sekarang pukul 11 Jimin-ah." Pemuda itu tentu saja terkejut, padahal ia ingat betul terakhir kali memeriksa arlojinya menunjukkan pukul 8.
"Oh...... ku rasa, aku terlalu fokus di ruang model tadi."
"Kau sangat bekerja keras, bisa kita bicara sekarang?" Jimin hanya mengangguk mengikuti langkah sang ibu menuju kafe di sebrang jalan.
Kondisi kafe cukup ramai, mengingat memasuki jam makan siang. Pemuda Kim itu nampak sibuk menggeledah ranselnya, benda pipih yang seharusnya ada di sana hilang entah kemana.
"Apakah ada yang salah?" Suara wanita yang membuat atensi Jimin kembali terfokus kepada orang dihadapnnya.
"Anni, kurasa ponselku tertinggal. Jadi apa yang ingin eomma bicarakan? Aku harus segera kembali ke universitas."
Wanita cantik itu tersenyum dan menyodorkan sebuah kotak kearah Jimin.
Jimin menandang sang ibu sejenak sebelum tangannya terulur untuk membuka kotak tersebut.
Kening pemuda itu mengernyit melihat isi kotak, dua setel jas dan kemeja dengan sebuah undangan berwarna biru langit yang melengkapi isi kotak itu.
"Eomma akan menikah lagi?" Wanita itu menganguk mantap dan meraih tangan sang putra yang masih tak dapat menalar semua.
"Biaya kuliah semakin tinggi, eomma tak mungkin hanya mengandalkan hasil dari kafe jadi eomma putuskan untuk menikah agar masa depan Jungkook lebih terjamin."
"Apakah Jungkook sudah setuju akan hal ini?"
"Jungkook pasti mengerti, Jimin-ah hanya kau yang dapat eomma andalkan." Dengan gerakan canggung Jimin melepaskan gengaman sang ibu.
"Jangan khawatir tentang Jungkook, aku bisa membiayai kuliahnya. Tae dan aku mendapatkan beasiswa dan hasil dariku menjual model bangunan dapat eomma gunakan untuk keperluan Jungkook." Wanita itu menghela napas, menatap putranya dalam.
"Jimin-ah.....eomma...."
"Bukankah Tae juga memberikan sebagian uang hasil pameram lukisan? Apakah itu masih kurang eomma?" Pemuda itu berusaha tersenyum walaupun rasa sakit yang ia terima.
"Maaf, aku tak bermaksud menggurui. Aku akan membicarakannya pada Tae, eomma fokus saja pada pernikahan ini." Jimin menggeser kursinya dan beranjak seraa membawa kotak coklat itu.
"Dan sampaikan salamku pada calon suami eomma." Jimin tersenyum manis, sebelum ia benar-benar meninggalkan kafe dengan luka yang lebar.
Baru saja pemuda itu berusaha mengontrol emosinya, lagi-lagi seseorang memanggil namanya.
"Kim Jimin, bisa kita bicara?" Astaga, apa lagi kali ini.
Jimin yang hanya bisa mengikuti langkah pria dengan setelan jaket kulit itu menuju halaman parkir kampus. Ia ingat betul menolak ajakan bicara pria ini kemarin.
"Ini ambillah!" Pria itu tersenyum sembari menyodorkan se cup kopi panas.
"Apakah ada hal penting?" Jimin menerima kopi itu dan meletakkannya kembali di kursi kayu.
"Baiklah, aku akan mengenalkan diriku terlebih dulu. Aku Kim Namjoon detektif sektor tindak kriminal."
"Lalu?"
"Apakah kau mengenal Tuan Choi? Ia menjadi korban pembunuhan kemarin malam." Jimin memicingkan matanya dan menggeleng pasti.
"Ne aku kenal dengannya, tetapi aku belum membaca berita hari ini."
"Kalau begitu kau mengenal pemuda ini?" Namjoon menyodorkan sebuah foto, Jimin yang masih tak mengerti menatap Namjoon curiga.
"Ne, apakah ada masalah?"
"Bukankah dia saudara kembarmu?"
Jimin menahan napas, maniknya menatap Namjoon yang nampak memberikan senyum tipis. Sungguh, masalah apa lagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Killin Me Now
General FictionMenjadi tersangka........ Selalu diperhatikan.......... Dan dia yang tak peduli........... Hanya ingin menjalani kehidupan normal sebagaimana remaja seusianya, namun berbagai kekurangan yang membelenggu disertai kebencian yang membara. Membuat mere...