Bagaimana kalau kita coba?

1.2K 177 10
                                    

Harry terengah memasuki Kamar Kebutuhan, "Ma-maaf, aku telat..."

"Tenang, aku cuma pikir aku dicampakkan," sindir Draco dengan cemberut seraya Harry akhirnya duduk di sebelahnya di atas sofa sambil mengatur nafas. "Mungkin lain kali," canda Harry sambil tertawa. Draco dengan kesal menyentil dahi Harry di luka petirnya.

"Jadi, kenapa kau telat?" Draco yang sudah kangen Harry merangkul bahu si Gryffindor dan mencium pelipis pacarnya.

Pipi Harry memerah tapi dia selalu menikmati afeksi dari Draco. Memang ejekan selalu dikeluarkan si Slytherin sekalipun mereka sudah pacaran tapi Draco tidak segan menunjukkan rasa sayang kepada Harry. Cara paling klasik sih seperti mereka tingkat 3 dulu, melalui origami. Tidak hanya di kelas tapi juga di Aula Besar. Teman mereka yang lain mengira dan selalu menganggap bahwa origami tersebut berisikan cemoohan untuk Harry dari Draco maka mereka tak pernah mempermasalahkannya.

Menyandarkan kepalanya di bahu Draco, Harry tersenyum sambil menceritakan, "Tadi Parvati sama Lavender cegat aku pas selesai kelas Pemeliharaan Satwa Gaib terus mau ke sini. Mereka ada PR dari kelas Telaah Muggle tentang sistem pernikahan Muggle."

"Kenapa mereka tidak bertanya ke Granger? Kau 'kan tidak mengambil kelas Telaah Muggle?" Draco bingung.

Harry tertawa, "Mereka sudah nanya tapi penjelasan Hermione terlalu detail dan mereka jadi hilang fokus apa yang mau ditulis. Makanya mereka nanya ke aku untuk versi singkatnya."

"Memang bagaimana para muggle menikah?" Tanya Draco. Harry menjelaskan secara umum yang diketahuinya. Dari cara melamar sampai sumpah pernikahan. Komentar Draco adalah kaget, "Cuma begitu? Semudah itu?"

"Ya, memang," Harry mengangguk.

Draco tertegun dan terdiam untuk waktu cukup lama. Harry menyadari lalu jadi khawatir kenapa pacarnya diam tiba-tiba. "Draco? Kenapa?"

"Bagaimana kalau kita coba?" ajak Draco.

"Hah?" Harry bingung. "Coba apa?"

Ia makin bingung begitu Draco senyum penuh arti terus mengajaknya berdiri dan sekeliling mereka berubah menjadi sebuah taman kecil dengan bunga lili. Terkesiap oleh itu, Harry melihat sekeliling dengan heran campur kagum sebelum pandangannya kembali ke Draco, "Apa ya—"

Namun, kata-kata mati di lidah Harry begitu mendapati Draco berlutut satu kaki didepannya. Kedua permata senada emerald terbelalak. Kelabu kembar Draco menatapnya dalam dan serius ketika tangan kanan Harry digenggam hangat oleh tangan kiri si Slytherin.

"Semua penyihir mengetahui kisahmu dan aku pun begitu sejak aku bisa mengingat. Bertahun aku melampiaskan kesalku padamu yang menolak ajakan pertemananku dulu tapi sekarang... kau kekasihku," Draco tersenyum lembut. Dia membuka telapak tangan kanannya untuk diarahkan ke Harry. Terdapat cincin bertanda keluarga Malfoy yang selalu dipakai Draco di sana.

Ia memakai cincin tersebut di jari tengah sebelah kanan sejak mereka tingkat tiga. Harry menyadari itu. Dibesarkan oleh bibinya yang manusia biasa, ia tidak tahu apa arti cincin tersebut bagi pewaris di sebuah keluarga penyihir berdarah murni. Lambang resmi yang bisa dipakai sebagai identitas sebagai pewaris dari keluarga tersebut mempunyai mantra pelindung otomatis bagi si pemakai. Secara tradisi, biasanya diberikan kepada anak yang menjadi pewaris karena dengan cincin itu bisa mengakses berbagai hal sebagaimana hak si pewaris. Seperti memasuki vault di Gringotts, penangkal yang hanya bisa ditembus keluarga dan sebagainya.

"Kita dalam situasi tak menentu dan mungkin saja waktu yang kita punya sedikit," alis Draco mengkerut, diikuti oleh Harry. Mereka dalam perang dan berada di pihak berbeda. Keduanya sadar akan hal itu meski tak pernah mengungkapkannya secara verbal seolah dengan begitu mereka bisa menyembunyikan kenyataan yang menghantui sedari dulu. Kedua mata Harry mulai berair mendengar Draco berkata, "Tapi, kau memberikan waktumu untukku."

Kelopaknya berkedip cepat seraya air yang tergenang mulai menghalangi pandangan saat Draco melanjutkan tersenyum percaya diri, "Aku tahu aku seharusnya berterima kasih dan tidak meminta lebih, tapi, hei, aku ya aku. Kapan terlihat aku tidak mendapat yang aku mau?" Harry tersenyum mendengar itu.

"Dan aku ingin memilikimu. Sebentar pun tak apa," ucap Draco sangat pelan bahkan nyaris berbisik. Sejak dia mengakui perasaan yang dia miliki terhadap Harry bukanlah seperti saingan pada umumnya, Draco bergelut dengan kenyataan bahwa yang mencuri hatinya adalah Harry Potter. Persetan dengan publik, yang menjadi masalah adalah Pangeran Kegelapan. Keterikatannya dengan pewaris Slytherin nyaris membuat Draco mundur untuk melepas Harry. Jika saja mereka masih musuhan, mungkin dia bisa. Tapi... setelah mengenal Harry, merasakan kebaikan hatinya, menikmati tawa renyah yang selalu ia rekam dalan benaknya, mendapati cinta dari pandangan sehijau padang rumput nan indah... bagaimana bisa Draco melepaskannya begitu saja?

"Jika umurku ditakdirkan tidak panjang," Harry menggeleng keras dengan air mata mengalir di pipi, "aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu, Harry."

"Dra...co..." Suara Harry tercekat. Dia terisak sedih.

"Aku mencintaimu, Harry James Potter."

Ditengah isakannya, Harry tersenyum. Draco bertanya lembut. "Maukah kau menikah denganku?"

Itu pertanyaan paling berat untuk dijawab saat ini.

Tidak hanya bagi Harry tapi juga bagi Draco. Sekalipun memang perasaan mereka berdua seserius itu, kondisi perang tak memungkinkan mereka untuk bersatu. Bahkan satu sekolah tidak percaya mereka pacaran meski mereka sudah mengakuinya. Waktu pacaran yang dimiliki mereka memang baru sebentar tapi entah kenapa terasa begitu benar. Tidak terasa salah karena posisi mereka di perang berbeda. Namun, seiring dengan kebersamaan mereka, keduanya sadar bahwa ini mungkin tidak akan berlangsung lama. Bukan karena perasaan mereka berbeda tapi situasi yang memisahkan.

Justru karena tahu itu, karena waktu mereka hanya sebentar, kenapa tidak mereka mengisinya dengan hal-hal yang mereka inginkan di masa depan mereka tapi mungkin tak akan bisa? Dan Draco ingin menikahi Harry. Pewaris keluarga Potter itu mengerti. Dia pun menginginkan hal yang sama, maka ia mengangguk.

"Ya, aku mau," senyum Harry, mengulurkan jari manis tangan kirinya yang kemudian dipasangkan cincin keluarga Malfoy oleh Draco.

Mereka berdua memandang cincin itu dengan senyum setelah Draco berdiri. Harry melirik ke tunangannya dan memandang penuh cinta. Siapa sangka bahwa Draco Malfoy yang selalu mencemooh tentang muggle sekarang melamar Harry Potter dengan tradisi muggle? Harry sangat tersentuh karena ia tahu seberapa tidak sukanya Draco sebagaimana para penyihir berdarah murni kolot tentang muggle dan masih dilakukan Slytherin tersebut karena dia tahu Harry memiliki pengetahuan terbatas tentang tradisi pernikahan penyihir. Jika Draco melakukannya ala penyihir, Harry mungkin tidak akan merasakan bagaimana spesialnya. Draco melakukannya untuk Harry.

"Aku mencintaimu, Draco Lucius Malfoy," ucap Harry dengan serius.

Wajah bangga terlihat jelas saat Draco membalas, "Sudah seharusnya, aku yang akan menjadi suamimu."

Harry tertawa dan memeluk leher Draco erat setelah menjijit sedikit. Si pirang Slytherin tersenyum dan balas memeluk pinggang Harry dengan sama erat. "Sudah, berhenti menangis, Harry," ledek Draco tajam tapi bibirnya tersenyum bahagia, "Kau baru bertunangan, bukan di pemakaman."

Secara tidak langsung, ini adalah keduanya jika memang Draco tidak memiliki umur panjang. Jadi, Harry membalas, "Ini kan salahmu, Draco..."

Draco terkekeh pilu karena dia tahu maksud Harry, "Itu salahmu menganggap ini salahku." Candaan barusan mengakibatkan Harry menepuk-nepuk pelan pipi Draco. Si pirang akhirnya menawarkan seraya menatap sepasang hijau indah dibalik kacamata tersebut sebelum menghapus air mata Harry dengan kedua jempolnya, "Bagaimana kalau kau boleh meminta Weasley untuk jadi best man-mu?"

"Meski dia tidak percaya kita pacaran?" Harry tertawa, ikut merenggangkan pelukannya untuk lebih leluasa bertatapan dengan Draco.

"Itu masalah dia, bukan masalah kita," jawab Draco enteng lalu mencium mesra Harry yang balas mencium dengan penuh cinta.

Hariku BersamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang