Ketika memasuki Kamar Kebutuhan, Draco menyadari bahwa Harry sudah di sana. Dia sedang duduk di sofa panjang berwarna merah dengan dekorasi ruangan berwarna senada. Draco curiga ini tampilan ruang rekreasi Gryffindor karena setiap kali Harry duluan yang datang, ruangannya pasti seperti ini. Sebagaimana jika Draco yang duluan, dia sering membayangkan ruang rekreasi Slytherin.
Semakin mendekati Harry, dia sadar Harry belum menyadari kedatangannya maka Draco membungkuk dari belakang sofa lalu mencium pipi kiri pacarnya dari belakang sebelum menyapa dengan, "Seseorang melamun nih."
Harry terkaget dan menoleh dengan wajah merah ke arah Draco yang memutari sofa untuk duduk disampingnya. "Dra-Draco?!"
"Iyalah, siapa emang yang kau harapkan ke sini?" Sindir Draco. "Atau kau mau nge-bucin sendirian?" Alis si pirang terangkat.
"Ho? Ada seseorang yang belum puas nge-bucin sendirian di Slytherin sepertinya," balas Harry sambil bersidekap. Draco tertawa lalu memeluk Harry dan mencium bibirnya gemas.
Harry ikutan tertawa sebelum mencium balik dan balas memeluk sebelum mereka rebahan di sofa warna Gryffindor dengan posisi kesukaan mereka dimana Harry menyandarkan kepalanya di dada Draco yang memeluknya.
"Kurang ya waktu kita duaan, sampai melamun gitu," Goda Draco. Harry tersenyum, "Oh, siapa bilang aku melamun memikirkanmu, Draco?"
"Harry, tidak ada Gryffindor yang pandai bohong," yakin Draco sembari mendengus, "lagipula, dari tadi kau memutar-mutar cincin di jari manismu itu."
Cincin berlambangkan keluarga Malfoy yang diberikan Draco beberapa minggu lalu kepada Harry. Jika mereka berpisah, Draco memberi mantra agar cincin itu terlihat kasat mata meski masih di jari Harry. Memang, sudah jadi kebiasaan Harry memutar cincin itu jika memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan Draco meski dia tak pernah mengutarakannya ke pacarnya. Tapi, Draco sadar hal sekecil itu sudah membuat Harry senang. Ia tersenyum.
"Yah, rasanya masih tidak percaya saja kalau kita..." pipinya bersemu merah dan bibirnya kelu kala menyuarakan dengan canggunng bercampur malu-malu, "...tunangan."
Mendengar nada itu, Draco menoleh ke Harry dengan tersenyum lembut. Meski dia sudah kenal Harry beberapa tahun lalu, bahkan selalu memperhatikannya dari jauh dan sekarang sudah menjadi kekasih beberapa waktu, Harry masih saja pemalu dalam beberapa hal. Dibesarkan di lingkungan Slytherin yang selalu tahu keinginan mereka dan menjaga sikap dalam segala hal, kecanggungan Harry dalam hal asrama membawakan angin segar dalam keseharian Draco.
"Siapa sangka orang yang kau tolak berteman di tahun pertama sekarang jadi tunanganmu di tahun keenam?" Draco tertawa kecil sambil mencubit pelan hidung Harry yang memutar bola mata. Nadanya seolah mengeluh tapi canda tak lepas dari air mukanya saat Harry berkata, "Itu lagi, Draco?" Sejak mereka jadian, masih saja Draco menyebut soal pertemanan yang ditolak berada lalu. "Kedengarannya gagal move on lho."
"Potter, kalau aku berhasil, kita tidak bakal nge-bucin sekarang," dengus Draco yakin. Harry berkedip, mengulang kembali perkataan Draco dan menangkap arti kalimat barusan beberapa detik setelah mereka terdiam. Perlahan dia mengangkat kepalanya, menumpukan berat di siku untuk menatap Draco yang kini mengangkat alis sambil melihatnya.
"Maksudmu... dari awal kita masuk Hogwarts..." Mata hijaunya terpaku pada perak kembar.
"Ya, kalau berdasarkan orangtuaku—"
"Orangtuamu?!" Kaget Harry sampai dia dalam posisi duduk. "Mereka tahu soal kita?!"
"Apa yang kau harapkan?" Heran Draco. "Setiap musim panas aku pulang, aku hanya menceritakan soal 'Harry Potter begini, Harry Potter begitu' bahkan dalam setiap surat yang kukirimkan kepada mereka pasti ada namamu."
"Serius?" Harry cengo.
"Mereka tidak bodoh, Harry, sebelum aku sadar dengan perasaanku, mereka tahu lebih dulu," tawa Draco.
Harry terdiam bahkan setelah tawa Draco mereda. Menyadari pacaranya cuma diam melihat, Draco tambah heran. Diam kali ini menyiratkan justru ada yang ingin dikatakan Harry, jadi Draco bertanya, "Kenapa?"
Kelopak mata hijaunya berkedip, ia tersenyum tipis, "Tidak, hanya..." tawa kecil mengudara, "...ternyata kita sama."
Draco heran, "Maksudmu?"
"Setiap tahun ada kejadian aneh di sini, aku selalu mengaitkannya denganmu. Hermione bilang, setiap tahun aku selalu mencetus 'Malfoy begini, Malfoy begitu' makanya dia tidak heran pas kita jadian," ungkap Harry lalu tertawa.
"Kedengarannya seseorang sudah lama CDH nih," Draco ikut tertawa sebelum mengeratkan pelukan ke Harry yang menaikkan alis. "Bukan seseorang saja, kita berdua 'kan?" Balas Harry dengan menggesekkan ujung hidung mereka penuh sayang.
"Oh ya, apa kau sudah dengar yang dibicarakan orang belakang ini?" Tanya Draco. Harry tertawa kecil.
"Malfoy! Kau nge-gosip?" Canda Gryffindor berkacamata tersebut. Draco mengelak, "Itu disebut mencari informasi, Potter."
"Bahasa gaulnya ya nge-gosip."
"Disebut bodoh kalau tidak tahu sesuatu."
Harry menggelengkan kepala masih sedikit tertawa, "Oke, oke, jadi apa gosipnya? Aku jarang bicara dengan orang yang bukan temanku."
Alis Draco naik satu dengan elegan.
"Atau yang bukan pacarku," koreksi Harry dengan tersenyum sayang. "Bukan tentang aku 'kan?" Tanya Harry curiga karena dia sadar sejak tahun lalu namanya tak terlalu bekembang harum layaknya sebelum Turnamen Triwizard.
"Itu dia, biasanya orang membicarakanmu tapi ini... aku tidak tahu siapa. Mereka menyebutkan sebuah nama dan terdengar sangat mengidolakan nama ini. Terlebih cewek-cewek. Bentuk Klub Penggemar segala."
"Hmm, memang siapa nama yang disebut-sebut?"
"Drarry."
Kedua mata hijau Harry berkedip beberapa saat. Memiringkan kepala selagi mengingat-ingat siapa orang bernama tersebut namun tak ada satupun yang muncul di pemikiran. "Siapa ya?" Gumamnya.
"Ya 'kan? Aku hapal semua anak Slytherin tapi tidak ada yang bernama itu. Di Gryffindor tidak ada?"
Harry menggelengkan kepala, "Tidak. Aku juga hapal anak Gryffindor dan yakin tidak pernah dengar nama itu di asramaku."
Draco menghela nafas, "Aku cek di catatan Prefek, tidak ada murid dengan nama itu di Ravenclaw dan Hufflepuff."
"Pemain Quidditch?"
Gelengan kepala menjadi jawaban, "Aku cek di majalah juga bukan. Siapa coba yang lebih banyak skandal untuk dibicarakan dari Anak Yang Bertahan Hidup?"
"Hei!" Harry merengut sambil mencubit pipi pacarnya.
"Pikir deh, namamu 'ka—" Draco mendadak terdiam seketika pemahaman memasuki diri. Harry ikutan diam. "Draco?"
"Harry?" Perak kembar menatap dalam sepasang zamrud hijau.
"Ya?"
"Itu dia! Nama."
"Hah? Apanya?"
"Drarry!"
Draco menatap Harry tanpa berkedip seolah melakukan telepati yang belum dimengerti si Gryffindor. Ia masih tidak paham sampai dia mengulang-ulang antara 'nama' dan 'drarry' di kepalanya. Dipikirkannya terus sampai kesimpulan didapat! Matanya terbelalak lebar!
"Draco dan—" Harry menunjuk wajah pacarnya. Draco mengangguk sebelum melengkapi kalimat terputus barusan, "—Harry."
Gryffindor berkacamata itu cengo.
"Nama kita..."
"...digabungkan jadinya 'Drarry'."
Entah ini jenius tingkat dewa atau absurd tak ketolongan, mereka berdua tidak tahu.
Speechless.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hariku Bersamanya
FanfictionDitahun keenam, Draco sadar Harry mengikutinya belakangan ini. Saat dia mengunjungi Kamar Kebutuhan dan Harry pun masih mengikuti, Draco memutuskan menginterogasi Gryffindor tersebut. Dengan hasil tak terduga dan juga terbawa suasana, mungkin? Drabb...