Kita ini apa?

1K 147 4
                                    

Pertengkaran terbesar mereka—

Dimulai dari pertanyaan Harry beberapa hari setelah Draco kembali pasca Liburan Paskah.

Tak dipungkiri betapa lega hati Harry masih bisa bertemu dengan Draco lagi. Namun, tak berarti itu menghapuskan semua malam tanpa tidur selama Draco pergi. Memikirkan bahwa mereka mungkin tak akan bertemu lagi. Dia didera pertanyaan tanpa jawaban yang tak bisa dipungkiri. Mereka harus membicarakan ini.

"Draco, boleh aku bertanya?" Nada datar Harry membuat Draco menoleh ke sisi kekasihnya.

Mereka berdua tengah duduk di sofa kesayangan mereka di Ruang Kebutuhan. Entah berapa ratus kali mereka sudah curi waktu untuk bisa bersama. Semakin mendekati akhir tahun, Draco semakin merasa tegang dengan tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan. Begitu pun Harry, semakin hari semakin memantapkan hati untuk menjalani takdirnya setelah latihan khususnya dari Dumbledore. Masing-masing hanya melihat kematian sebagai akhir yang dekat.

Harry masih tidak terbayang bagaimana dia yang masih 16 tahun harus menang dari Pangeran Kegelapan yang beberapa dekade lebih tua, berpengalaman bahkan kembali dari kematian. Persetan dengan orang yang yakin dia terpilih untuk mengalahkan Voldemort. Mereka bisa bilang begitu karena bukan mereka yang terbebani takdir terkutuk milik Harry.

Terpilih apanya, justru Harry merasa dia tak punya pilihan. Kesempatan memilih direnggut tanpa mengindahkan perasaan atau pemikiran yang mereka sebut-sebut "Terpilih".

Karena itu, ia membuat pilihan untuk bertanya.

"Kenapa kau tidak 'bersama'ku?"

Kelabu kembar milik Draco melebar. Ia membeku mendengar penuduhan tersirat di balik pertanyaan Harry. Jelas ini tak bisa diartikan secara harfiah karena sekarang mereka duduk berdampingan. Bersama. Pacaran selama beberapa bulan. Berdua. Meski di luar menganggap ini semua canda selain beberapa orang yang menilik lebih dalam dari sekedar ucapan semata. Keduanya tak menutupi perasaan satu sama lain yang lebih dari sekedar asa.

Tidak.

Satu hal yang tak pernah mereka bahas, sebut atau bahkan menyuarakan selama mereka bersama karena itu akan memberi izin hal ini untuk hadir antara mereka sekalipun dunia sekitar selalu mengingatkan. Kesepakatan bersama tanpa kata agar tak pernah memberikan izin tersebut pun putus karena pertanyaan barusan.

"Jangan bodoh," Draco mengerutkan alis, membuang muka.

Harry tahu bahwa Draco mengerti arti pertanyaannya bukan menginginkan kejelasan denotasi. Ia tahu beberapa kejadian yang menimpa beberapa orang di tahun INI merupakan perbuatan kekasihnya. Ada sesuatu yang diemban Draco sekalipun Slytherin satu ini tak pernah mengutarakan. Apapun itu, perasaan Harry tidak enak. Yah, tak ada satu hal pun yang berkaitan dengan Voldemort membuat perasaanya enak.

"Kenapa kau tidak ke 'tempat'ku?" Harry bertanya lagi.

"Harry," Draco menatapnya dengan pandangan memohon.

Gryffindor berkacamata ini menguatkan pilihan agar tidak luluh dengan pandangan kekasihnya. Harry tak bisa memendam kekhawatirannya sendiri lagi. Dia terus kepikiran dengan seiring bertambahnya kejadian-kejadian menimpa Hogwarts serta kelas khususnya dengan Dumbledore.

"Kenapa tidak kau t—"

"CUKUP!" Bentak Draco.

Harry terdiam. Ia menekuk wajah dan melotot marah kepada Draco yang membalas dengan intensitas setara.

"Kau tidak bisa mengatur hidupku," desis Draco dengan serius. "Ini hidupku. Ini keputusanku."

"Kalau begitu kita ini apa?" Harry mengarahkan jari telunjuk ke jarak antara mereka. "Yang kita lakukan ini apa? Aku tak berhak untuk mencemaskanmu? Begitu?" Nada tenangnya melonjak, "Terus aku ini apa?! PENGISI WAKTU LUANG? ITU SAJAKAH!?" Harry berang.

Draco memalingkan wajah dan tegak tanpa menjawab. Harry pun berdiri.

"Kenapa kau pertanyakan itu sekarang?" Tuduh Draco. Terluka oleh perkataan kekasihnya. "Kau menyesal menjalin hubungan denganku?"

"Aku?" Harry bernada tak percaya. "Bukannya kau yang tak mau mendengarkanku karena aku ini tidak berarti bagimu?!"

Draco membalikkan badan dengan cepat, menatap Harry penuh amarah. "Ini serius?" Nadanya tak menutupi cemooh seolah dia tak percaya akan pendengarannya. "Berapa sih usiamu? Kau berpikir hanya karena aku mencintaimu lantas aku akan mendengarkan semua perkataanmu? Hah? Itu maumu?"

Harry terdiam, maka Draco melanjutkan, "Kau tidak bisa menuntutku berubah menjadi orang lain yang sesuai keinginanmu. Melakukan semua permintaanmu hingga kehilangan prinsipku... cara hidupku selama ini sebelum aku bertemu denganmu terlepas itu baik atau tidak. Aku bukan bonekamu yang bisa diatur-atur. Kita ini dalam hubungan. Bukan penjajahan! Apa kau tidak familiar dengan yang namanya kompromi?! Hah?!" Ia menunjuk ke Harry. "Apa aku pernah memintamu melepas gelar Anak Yang Bertahan Hidup? PERNAH?! TIDAK!"

"Kau pikir ITU KEINGINANKU? Kau pikir aku tak pernah berharap sebaliknya? KAU PIKIR AKU MINTA JADI ANAK YANG BERTAHAN HIDUP?"

"Kalau begitu, BANGUN! Ini REALITA! Bukan KARANGAN CERITA!"

"Aku hanya memikirkanmu, Dra—"

"Tidak! Kau mendesakku memilih, memaksakan pendapatmu dan tidak memikirkan posisiku," Draco menggelengkan kepala. Tawaran Harry terdengar sangat menggiurkan. Terlalu indah untuk dilewatkan tapi Draco tahu kenyataan tidak semanis rangkaian kata yang apik bak fiksi. Kenyataanya mereka berdiri di pijakan dengan api di sekitar. Pilihan maju ataupun mundur berakibat fatal. "Kau tidak mengerti."

Draco mundur sementara Harry melangkah maju, "Aku mengerti posisimu, Draco. Karena itu aku mau memberimu solusi."

"Mengerti?" Draco meninggikan suara lagi, "Solusi? Ini yang kau sebut solusi? Dengan memintaku memilih antara kau dan orangtuaku?"

"Aku tidak memintamu memilih," di mata Harry, pilihan yang baik sudah jelas.

Draco kembali mundur menjauh dari Harry dengan menggelengkan kepala, "Kau tidak mengerti. Kau yang tidak punya orangtua tak mengerti posisiku." Lalu ia berbalik, menggumamkan dengan nada dingin meski setetes air mata jatuh di pipi, "Jangan memaksakan seekor ular meninggalkan caranya merayap untuk berdiri berlari seperti singa," dan pergi meninggalkan Harry sendirian.

"Draco!" Namun, pintu Ruang Kebutuhan telah tertutup. Membelenggu Harry seorang di dalam.

Dada penuh sesak akan kesedihan tak tertahankan merubuhkan kekuatan untuk berdiri tegak hingga lututnya jatuh ke lantai sebelum ia terisak-isak. "Sial! Draco..." Air mata mengalir deras tak terkendali. Memang ia tumbuh besar tanpa orangtua. Anggaplah ia tak mengerti aspek tersebut... namun... ketiadaan sosok orangtua menjadikan Harry sangat medambakan sosok orang-orang untuk dikasihi dan Draco menempati posisi tertinggi saat ini.

Harry telah kehilangan masa kecilnya, orangtuanya, dan walinya (secara langsung maupun tidak) karena Voldemort. Pewaris keluarga Malfoy sudah menempati setengah hidup Harry sejak usia 11 tahun dan meski hitungan bulan mereka menjalin kasih... Draco telah menjadi separuh nafas Harry untuk bisa hidup.

Itu yang tidak dimengerti oleh Draco.

— diakhiri dengan adu mantra berujung pertumpahan darah oleh sectumsempra.

Hariku BersamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang