Maafkan aku

1.2K 159 0
                                    

Draco, terbaring di ranjang mendengar suara isak tangis yang dicoba diredam namun gagal. Perlahan ia membuka mata untuk mendapati kalau dia ada di sqlah satu ranjang Sayap Rumah Sakit. Sekeliling ranjang tertutup tirai putih. Tak ada orang dan dari minimnya cahaya di luar jendela, Draco memperkirakan ini tengah malam. Namun, isakan itu masih ada. Datang dari sisi kanan ranjang.

Masih dengan posisi didalam selimut, Draco menolehkan kepalanya ke kanan di mana suara itu berasal. Bibirnya memanggil satu nama, "Ha...rry?"

Seketika, Harry muncul.

Melepas Jubah Tak Kasatmata. Air mata jatuh deras dari mata hijaunya yang menyiratkan penyesalan. Suaranya bergetar menyuarakan, "Ma-maafkan aku, Draco... aku... aku tidak tahu mantra itu... bi-bisa membunuhmu..." nafasnya tercekat. "Aku sama sekali tidak berniat melukaimu... sungguh... percayalah! Maafkan aku...!"

Tak pernah Draco melihat Harry menangis dengan sangat sedih begini. Harry seorang pribadi yang tegar, kuat, berani dan baik hati. Dikejar-kejar bayangan Pangeran Kegelapan, tak membuat Harry menangis ketakutan di sudut. Berulang kali menghadapi musuh secara langsung ataupun yang terhubung erat dengan si Pangeran Kegelapan, tak membuat Harry hilang kepercayaan pada orang. Tak memiliki orang tua, tak membuat Harry kehilangan hati untuk cinta. Dan kini... ia terlihat rapuh karena melukai Draco secara tidak sengaja.


Jujur, dia tak berpikir Harry akan terpengaruh dengan kondisinya ini. Mereka berdua tengah emosi ketika bertemu di toilet lantai dua sebelum beradu mantra. Bahkan Draco sendiri nyaris melemparkan crusiatus ke Harry. Ia begitu tertekan. Ketika mantra Harry mengenai dirinya mengakibatkan bersimbah darah, Draco pikir ini keputusan Harry. Untuk menganggap Draco musuh setelah pertengkaran besar mereka. Secara tidak langsung mengakhiri hubungan mereka. Setidaknya... itu yang dipikirkan Draco si ambang maut seraya samar-samar mendengar suara Professor Snape memberi pertolongan pertama. Namun... melihat Harry tersedu sedan meminta maaf... nampaknya dia salah.

Kelabu kembar terasa panas. Genangan air terkumpul mengaburkan pandangan sebelum setitik air mata jatuh menuruni pipi.

Draco percaya yang dikatakan Harry sebab Gryffindor satu ini mengenakan perasaannya di baju. Tanpa penyaringan atau manipulasi. Betapa lega hatinya mengetahui ternyata Harry masih peduli setelah pertengkaran mereka kemarin. Berada di pihak berbeda sekalipun, Draco jelas sama sekali tak menganggap Harry musuh. Kekasihnya. Tunangannya. Harry-nya.

"Harry..." Draco mengulurkan tangan ke remaja bermata hijau tersebut.

Segera Harry mendekat dan menyambut tangan Draco. Membiarkan tangan mereka saling menggenggam. Membagi perasaan bahwa mereka sama-sama masih saling mencintai walaupun kecelakaaan terjadi. Draco membawa tangan Harry ke dadanya, di atas luka yang mungkin membekas. Keduanya bertukar pandang penuh kepahitan. Jelas, cinta ada di antara mereka. Dan, itu agak menenangkan Harry meski air matanya masih mengalir.

"Aku juga minta maaf..."

Draco mengucapkannya sangat pelan tapi heningnya malam membantu Harry mendengar dan itu membuatnya kaget. Ia tidak mengerti karena dia tidak terluka fisik justru Harry yang melukai Draco dengan parah. Melihat ketidakmengertian Harry, Draco menjelaskan, "Aku tidak memikirkan perasaanmu sementara aku menghakimimu tidak memikirkan perasaanku."

Barulah Harry mengerti bahwa Draco membicarakan pertengkaran mereka di Kamar Kebutuhan. Draco baru mengerti betapa penting dirinya bagi Harry melihat tangisan Harry barusan. Harry Potter yang diakui lawan oleh Pangeran Kegelapan tidak menangis tanpa alasan. Harry menggigit bibir sebelum bertanya dengan pura-pura ngambek, "Kau sadar... baru sekarang?"

"Ya," senyum Draco tipis, "Maaf."

Harry tersenyum kecil, "Lama."

Keduanya bertatapan dalam diam. Menghapus air mata masing-masing. Membiarkan perasaan mereka terpancar di mata tanpa tertutupi. Hanya... pandangan Draco terasa lebih berat. Ada yang ingin ia ungkapkan. Keduanya tahu pembicaraan mereka belum selesai. Maka, Harry diam menunggu. Menggunakan tangannya yang bebas menyisir surai pirang keperakan selembut sutra penuh kasih. Draco menutup mata menikmati. Sedikit tak diketahui Harry, tidak sembarang orang dibiarkan Draco menyentuh rambut kebanggannya. Hanya orang tertentu dan tentu istimewa bagi Draco. Harry hanya tahu Draco sangat memperhatikan penampilan, meski itu tak pernah bisa dimengertinya yang tumbuh besar tanpa peduli penampilan.

"Harry... Boleh aku bertanya?" Draco membuka kembali matanya dan menatap hijau kembar.

Draco menggunakan nada yang sama dengan Harry ketika Gryffindor satu itu memulai pertengkaran mereka beberapa hari lalu. Melihat astmosfir mereka yang tadi sudah saling minta maaf, Harry ragu Draco mau memulai pertengkaran baru antara mereka. Ada maksud lain dari itu. Harry menggangguk hati-hati.

"Antara melepaskanku menjadi musuh atau nyawa Granger dan Weasley terancam... mana yang kau pilih?" Draco bertanya dengan nada dan ekspresi datar.

Harry membeku.

Dia tak mengerti sama sekali kenapa Draco mempertanyakan itu. Bahkan dia tak mau membayangkannya. Dia menjawab tegas, "Tidak ada. Karena aku memilih yang ketiga. Aku akan menyelamatkan kalian bertiga."

Draco tersenyum kecil, "Bodoh. Sudah kuduga 'kau akan bilang begitu." Ia membawa tangan Harry yang digenggamnya dari tadi ke bibir. Mencium telapak tangan Harry penuh sayang sebelum menatap Harry lagi. Dengan serius. Senyum sudah hilang tak hanya dari kasatmata bahkan dari nada Draco. Harry tahu ini tak bisa dianggap enteng.

"Harry, kita bukan anak-anak lagi. Aku yakin kau mengerti situasi kita saat ini dan kau tahu apa yang harus dilakukan. Aku tahu kau Granger dan Weasley lebih dari sekedar sahabat bagimu. Mereka bagaikan saudara. Kau sendiri yang memberi impresi begitu padaku. Kuakui, keberanianmu mengagumkan. Aku sama sekali tak meragukan itu. Tapi, perlu kau sadari kadang kenyataan tak memberikan pilihan yang bisa dipilih semudah kita membalikkan telapak tangan."

Kelabu kembar tak berkedip kala mempertanyakan, "Antara saudaramu dan aku, mana yang pilih untuk diselamatkan?"

Hening di antara mereka terasa mencekik Harry.

Dia mengerti maksud Draco bahwa dia harus siap dalam segala pilihan yang diambil saat berhadapan dengan situasi di luar perkiraan. Itu pilihan berat. "A-aku..." Lidah Harry kelu. Jantungnya berdegup cepat namun dia masih tak bisa menjawab. Dia kenal Ron, Hermione dan Draco di saat awal masuk Hogwarts. Dia tahu mereka bertiga untuk waktu yang sama. Walaupun 5 tahun pertama selalu berseteru, Harry juga selalu memperhatikan Draco dari jauh. Menjalin kasih beberapa bulan belakangan lebih membukakan mata Harry. Tapi...

...Ron dan Hermione selalu berada di sisinya. Terlebih dalam menghadapi Voldemort. Dia mencintai Draco tapi seandainya situasi memaksa... Harry...

Draco menyadari pilihan Harry begitu wajahnya terlihat bersalah. Alih-alih marah, Draco justru tersenyum lembut. Dia tahu sekali apa yang akan dipilih Harry dan dia tak menyalahkannya sama sekali. "Draco, aku..." Harry semakin bingung.

"Aku tahu," ucap Draco pelan. "Tidak apa, aku tidak menyalahkanmu, Harry."

"Tapi, aku..."

Draco memotong, "Itu juga pilihanku untuk pertanyaanmu kemarin."

Harry terdiam.

Emerald kembar terbelalak di balik kacamata bundar. Baru dia mengerti arah pembicaraan Draco yang menerangkan, "Bukan aku tidak mencintaimu dan tidak ingin berada di 'pihak'mu, tapi aku tak bisa membiarkan orangtuaku. Bagaimanapun... mereka keluargaku." Dia menambahkan, "Seperti kau yang akan melindungi Weasley dan Granger karena mereka keluarga bagimu."

Harry kembali menitikkan air mata saat Draco tersenyum, "Keluarga... segalanya bagimu, bukan?"

Memang dia tidak menceritakan secara detail tentang keluarga pamannya tapi Harry yang tak punya orangtua sangat mendambakan memiliki keluarga besar. Draco tidak menanyakan secara detail tentang keluarga muggle Harry karena yang ditanya selalu mengalihkan pembicaraan. Meski begitu, Draco menangkap kesan bahwa Harry tak terlalu dekat dengan mereka sehingga dia lebih menganggap sahabatnyalah keluarganya.

"Aku benar 'kan? Cium dong," canda Draco untuk mencairkan suasana. Harry tertawa kecil, menggelengkan kepala tapi mendekatkan wajah untuk mencium Draco. Mereka berciuman lembut seolah sama-sama ingin menikmati selama mungkin yang mereka bisa. Begitu perlahan saling melepas, Draco memandang Harry dalam. Waktu yang dimilikinya di Hogwarts tidak lama lagi. Cuma saat ini dia bisa memiliki Harry.

"Ayo, menikah."

Hariku BersamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang