Part. 18

418 34 17
                                    

Hari berlalu dengan cepat, tak terasa hari pernikahan Jaebum dan Jinyoung sudah di depan mata. Jisung sudah keluar dari rumah sakit satu hari yang lalu, ia sama sekali tidak melihat batang hidung Jaebum, Bangchan, Mark, maupun Hyunjin selama ia dia dirawat di rumah sakit.

Hari-harinya hanya di penuhi dengan Changbin yang selalu setia menghiburnya, agar pemuda tupai itu tak merasa kesepian. Jisung sangat berterimakasih atas kehadiran Changbin, walaupun semua yang dilakukan Changbin tidak dapat menghilangkan rasa kesepian di dalam dirinya.

Semakin hari rasa hampa di dalam hati Jisung semakin membesar. Ia merasa tidak berguna dan tak ada yang perduli dengan dirinya, bahkan ayahnya sendiri pun tak sudi menjenguk anaknya yang hampir sekarat ini.

Jisung duduk di atas tembok rooftop yang berada pada sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Sebagian dari dirinya sudah tertutup oleh kegelapan, ia berusaha meminta tolong dengan isyarat. Tapi tidak ada yang melihat kearahnya, semua orang sedang terlarut dengan kehidupannya sendiri.

Pemuda tupai itu tak bisa menyalahkan mereka, karena mereka pun mempunyai kehidupan sendiri. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang sangat lemah, dan selalu berharap orang lain akan mengulurkan tangannya untuknya.

Langit tampak sangat gelap walaupun jam masih menunjukkan pukul dua siang. Awan mendung menutupi langit, Jisung sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Ia memilih abai dengan cuaca yang terlihat sangat tidak bersahabat.

Suara sepatu mendekat ke arahnya pun tidak mengganggu lamunan Jisung sama sekali. Kepalanya mendongak ke arah langit yang mulai meneteskan air, kakinya menggantung bebas. Jika ia terpeleset sedikit saja dari tempatnya duduk, mungkin Jisung akan berakhir tertimbun tanah di samping makam neneknya.

"Jisung, sudah hyung bilang jangan duduk disana. Jika kau jatuh bagaimana? " Omel Changbin dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir.

Jisung sama sekali tak merespon perkataan Changbin, seluruh atensinya masih terfokus kepada langit. Tangannya terulur, seperti ingin menggapai langit yang ada di atasnya. Matanya terlihat menyipit akibat tetesan hujan yang mengenai paras menggemaskannya.

Changbin menarik paksa tubuh Jisung untuk turun dari tembok pembatas yang tak terlalu tinggi. Jisung menatap ke arah Changbin sambil tersenyum kaku, seperti robot.

"Binnie Hyung, sejak kapan kau datang? " Tanya Jisung.

Tatapan sendu dapat di lihat dari kedua mata Changbin. Tangan mungil Jisung memegang pipi Changbin. "Kau sedih hyung? Atau kau sakit? " Tanya Jisung dengan nada yang sangat cemas.

Changbin menggeleng kecil, tangannya terangkat menggenggam tangan yang lebih mungil dari pada miliknya. Tatapan mata kosong tanpa semangat hidup, yang terpancar dari sorot mata Jisung membuat Changbin tersenyum miris.

"Ayo pulang, semua sudah menunggumu di rumah. " Changbin berkata, sambil memegang kedua pipi tembam Jisung.

Langkah kaki Jisung kembali mendekati tembok pembatas. Tubuh mungilnya terlihat sudah menggigil di bawah guyuran air hujan, yang membasahi tubuhnya. Changbin mengikuti Jisung, ia berdiri tepat di sebelah lelaki tupai itu.

Jisung menatap ke depan dengan mata yang berkaca-kaca. "Menungguku hyung? Aku saja tidak yakin mereka masih perduli denganku atau tidak, " Jisung berkata, dengan senyum getir yang menghiasi bibir mungilnya.

Changbin memeluk tubuh bergetar pemuda tupai itu. " Mereka sangat perduli denganmu Jisung-ah, " Changbin sebenarnya tidak yakin dengan apa yang dia katakan.

Jisung menggeleng kecil. "Hyung, jangan seperti ini. Hyung selalu saja meyakinkanku mereka masih perduli kepadaku, tapi yang aku lihat mereka melakukan kebalikannya hyung. Jangan membuatku semakin terlihat menyedihkan hyung, " Jisung tak lagi bisa menahan air matanya agar tidak keluar dari kedua matanya.

[END]True Life -Skz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang