15 - Bintang

634 143 3
                                    

"Tolong bergegaslah demi Kerajaan Roshelle de Rosemarie."

Bagi Elidio, itu adalah sebuah bendera merah, tanda akan terjadi kegemparan di kerajaannya. Caster Osterio sampai mendesaknya, berarti ada sesuatu buruk yang terjadi pada kondisi raja.

Kesehatannya semakin parah.

Sebuah suara dalam diri Elidio kembali membebani pikiran. Suara itu, suara cahaya yang sudah bersamanya selama ini. Cahaya keturunan Deventi.

"Peace, jangan sekarang. Aku sedang bersama Daia."

Aku hanya menyampaikan sesuai apa yang saya lihat.

Suara itu lagi-lagi keluar. Memenuhi segala pikiran penuh Elidio. Membuatnya pusing.

"Aku sudah tahu, Peace."

Tidak akan sempat. Tidak akan sempat. Tidak akan sempat.

Tiga kali suara yang disebut Peace oleh Elidio mengucapkan itu. Mengganggu pikiran positif Elidio.

Elidio diam tak menanggapi. Ia saat ini sedang berjalan bersama Daia, mencari penginapan. Jika tidak, sebuah tempat sepi untuk mendirikan tenda. Itulah mengapa tasnya terlihat penuh dan berat. Peralatannya lengkap.

Raja Artair sekarat karena kesalahan tuan.

Jika Tuan Kiel dan Tuan Elidio tidak menyebabkan masalah kala itu, Raja Artair akan baik-baik saja.

Sekarang, kemungkinan Tuan Solvegio Deventi menjadi raja semakin besar. Aku ingin kembali dalam dirinya.

"Hei, Peace. Aku bertanya-tanya."

Ya, Tuan?

"Namamu Peace, tapi kau sama saja seperti Chaos, api gelap milik kakak tiriku.."

Itu karena kami tumbuh dalam diri Anda sekalian. Manusia. Fana. Tuan abadi kami. Dari generasi ke generasi.

Kami hanya menampilkan apa yang kalian kejar.

Apa yang kalian inginkan.

Sebuah hasrat paling dalam manusia.

"Putih dan hitam. Apa bedanya kalau kelakuan kalian sama. Menimbulkan bencana." Elidio terus menguatkan hati. Ia sangat benci jika gejolak kekuatan putih, si api biru di dalam dirinya, semakin menjadi.

Kami tidak menimbulkan bencana, Tuan. Manusialah yang menginginkan itu.

Fana.

Tidak tahu batasan. Serakah.

Tuan Elidio salah satunya. Tidak ada pengecualian.

"Berisik."

Elidio tanpa sadar menggumamkannya. Ia lalu melirik Daia, mengibaskan tangan. "Serangga ilalang terlalu banyak."

Daia tersenyum kecil. "Iya."

Daia sendiri memikirkan apa yang ia tak sengaja dengar. Batu yang memanggil Elidio menampilkan seorang pria dengan tongkat perak. Dan pria itu telah memberi kabar mengejutkan. Elidio yang biasa riang kehilangan ruang untuk tersenyum lagi.

Dia memikirkan banyak hal. Sementara, akan kubiarkan supaya Eli menemukan caranya sendiri dan kembali tenang.

Mereka tenggelam dalam diam. Sampai langkah kaki membawa mereka ke sebuah penginapan, Elidio mulai menoleh pada Daia. Hendak bertanya.

"Jika kamarnya tersisa satu lagi, apa tidak masalah?"

"Aku tidak punya pilihan," jawab Daia praktis. "Aku tak bisa menuntut banyak. Lagipula, kalau Elidio macam-macam, aku tinggal berteriak seperti sebelumnya."

Mirror WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang