bagian; 1

234 17 6
                                    

-2006-

Mau diceritain lebih detil, tapi memang nggak ada yang menarik dari pertemanan mereka berempat. Intinya gitu, Dita awalnya terpaksa. Tapi seiring waktu dan dibujuk-rayu tiga cowok itu, dia lama-lama terbiasa.

Enam bulan saling kenal, cerita kehidupannya, Dita jadi mengenal tabiat masing-masing dari mereka.

Tirta, si teman sebangku yang suka haha-hehe. Nggak ngerti kenapa, tapi anak yang satu ini emang baik banget. Dita butuh temen, Tirta ada 24 jam. Dita butuh makanan, dia juga yang beliin Dita. Dita nggak ada ongkos pulang, Tirta juga yang nombok uang jalannya. Ya... walaupun bangsatnya ada juga -emangnya cowok bisa lepas dari tabiat yang satu itu? Tapi, kalau memang ada pertanyaan siapa yang hatinya bak malaikat dan Dita diminta memilih, dia akan jawab Tirta.

Omong-omong, Dita lebih merasa nyaman kalau ngobrol sama Tirta. Juga, kontak mereka secara batin lebih baik. Mungkin karena mereka satu meja.

Terus ada Bisma, si perfeksionis. Bisma ini yang paling banyak pengaruh di sekolah dibanding mereka berempat. Gimana, nggak? Mau itu futsal, OSIS, drama, sampai PBB juga dia ambil. Kadang kalau ditanya, Bisma nggak pernah bilang dia capek. But, human is human. Dita tau sebenarnya cowok itu butuh istirahat. But he can't, he just can't.

Satu lagi, Raka. Si visual dan tukang tebar pesona. Dita sebenarnya nggak ada masalah sama sekali dengan tipikal manusia suka tepe-tepe kaya Raka. Masalahnya, Raka itu ganteng kuadrat. Bayangin, dia ngasih flying kiss sekali, udah sepuluh anak perawan yang kejang-kejang. Kalau misalnya cowok itu nebar flying kiss sepanjang koridor, bisa habis isi sekolah. Memangnya dia mau nanggung biaya rumah sakit?

Dan juga, hal yang lebih keselnya lagi, Dita itu udah terjerat di dalam pesonanya Sadana Rakabuming.

Sialan banget.

Kadang, untuk dia Raka itu dekat -terlalu dekat malah, tapi masih aja susah tergapai.

"Dita!" Ini Raka.

"Dit, masih pagi, nih! Nonton bokep, yuk!"

"Heh! Kadak utak urang!" maki Tirta. Dita sempat memuji pemuda satu itu dalam hati karena jadi satu-satunya orang waras di antara mereka sampai akhirnya dia ngomong lagi, "Ntar kalo lo ngaceng, kasian nggak ada yang nenangin. Dita mana pinter soal begituan."

Tirtai batinnya.

Dita berdecak, lantas menggeleng. "Punya temen tiga, akhlaknya nggak ada semua. Sia-sia hidup gue."

"Beruntung kali," sahut Raka. "Akhlak kosong, wajah tampan rupawan, men!"

"Tau, nih." Sekarang giliran Bisma yang menyahuti. "Dikasih temen cakep-cakep nggak ada syukurnya. Seharusnya, lo itu berterima kasih karena dianugerahi manusia-manusia bak malaikat kaya kita."

Dita nggak membalas lagi. Melawan Raka nggak ada habisnya, apalagi kalau ditambah Bisma. Dua anak itu mana mau kalah kalau udah berurusan sama debat.

"Nih, udah!" Tirta menyerahkan buku yang isinya jawaban Matematika.

Dita tersenyum bahagia "Tengs. Emang Tirta temen paling baik." Atensinya beralih ke dua pemuda yang sibuk ngunyah permen yupi, memicing mata ke arah mereka. "Nggak kaya dua orang disana. Misuh mulu kerjaannya. Giliran diminta tolong pada kicep."

"Matematika bukan lawan gue, sori."

"Matematika membulukkan wajah tampanku."

Dita menghela napas lagi. Kendati demikian, perempuan itu nggak pernah merasa capek untuk menanggapi tiga kurcaci itu. Malah, semakin mengenal ketiganya lebih jauh, Dita semakin merasa hidupnya bak berpetualang di dunia fantasi.

storge✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang