bagian; 3

136 11 5
                                    

-2008-

Butuh berapa lama, ya, sampai akhirnya Dita benar-benar membuang presensi Raka dari kepalanya?

Dia nggak bisa ingat. Yang pasti, awal-awal mereka putus, Dita masih kepikiran. Dia bahkan sempat memisahkan diri dari meja makan yang biasanya diisi mereka berempat.

Sebenarnya kalau dipikir lagi, yang paling membuat Dita sedih itu bukan karena mereka putus. Dia terima fakta yang satu itu, kalau mereka memang nggak bisa berada di hubungan yang lebih dari pertemanan.

Yang buat sedihnya jadi berlarut-larut adalah fakta kalau tiga bulan Raka dengan sikap nggak terkiranya itu bukan sepenuhnya bentuk kasih sayang dari pemuda tersebut, tapi malah untuk dirinya sendiri.

Ya, untungnya Dita nggak menjadikan itu beban lagi di tahun ini. Dia juga udah nggak merasa gimana-gimana lagi sama Raka. Sesuai dengan apa yang diminta cowok itu juga, hubungan mereka cuma masa lalu nggak enak dan nggak seharusnya dikenang terus-terusan.

Let past stay in past. Lupain, lupain, lupain.

Tapi omong-omong, nggak semuanya berjalan baik di awal-awal Raka-Dita putus. Tirta sempat mogok bicara dengan pemuda itu. Ditegur, merengut. Ditanya, cuma menggumam nggak jelas. Didekati-- Well, ya dia nggak menjauh, sih. Tapi, kelihatan dari mukanya kalau cowok itu antara mau dan nggak mau buat didekati Raka.

Waktu Dita tanya ada apa, dia cuma bilang lagi kesal. Iya, lagi kesal aja katanya, nggak pakai alasan apapun. Dan itu bukan Tirta banget. Karena Tirta biasanya selalu memaparkan semua kabarnya -kalau bisa sampai nenek moyangnya kepada Dita tanpa ditanya.

Setelah ditambah paksaan dan ancaman-ancaman sebatas 'gue nggak mau nemenin lo latihan lagi, nih!' Tirta akhirnya bilang kalau dia kesal dengan segala pengakuan yang dibilang Raka. Dia nggak mau mengeluarkan kalimat yang nggak enak didengar selama dia marah, makanya pemuda itu lebih memilih untuk diam.

Kendati demikian, setiap pemuda itu berpas-pasan dengan Raka, tatapannya pasti beda. Memicing, geram, kesal, nggak suka. Dita rasa tanpa perlu diberitahu, Raka juga mengerti apa makna yang disiratkan Tirta dari tatapannya.

Dita aja ikut merinding. Orang baik kalau marah seram ternyata.

Itu Tirta. Beda lagi dengan Bisma yang punya emosi menggebu-gebu dan sukar ditahan. Pemuda yang satu itu... duh, gimana ya Dita nyebutnya? Bisma nggak segan menyindir secara terang-terangan buat Raka. Tiap ada pembicaraan, pasti disenggol-senggol ke hubungan Dita-Raka yang kandas.

Masalahnya, Raka itu juga tipikal yang emosinya mudah kepancing. Tau kan kalau emosi disuruh adu jotos sama emosi?

Iya, dua cowok itu sempat baku hantam. Beruntung nggak ada yang luka, nggak ada pula yang dikenai hukuman berat. Untung juga, sekarang mereka udah damai.

Padahal, selama ini Bisma, Raka, dan Tirta itu udah kaya anak satu ibu di mata Dita. Setiap sama Dita, kerjaannya melawak terus. Tapi, ternyata mereka bisa berubah jadi mengerikan kaya gitu.

Di waktu yang sama, Dita terkesima. Look how love can change everything in this world?

Tapi, kalau kalian berpikir putusnya Dita dengan Raka cuma memberi dampak ke bertengkarnya tiga sekawan itu, kalian salah.

Ada yang lebih seru untuk diceritakan dibanding baku hantam ala-alanya anak SMA.

Tentang Bisma.

Dita nggak tau kalau ini cuma perasaannya atau gimana, tapi semenjak dia lepas dari status pacarnya Raka, Bisma rasanya kaya mendekati Dita lebih intens.

storge✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang