Siang itu Haechan dan Jeno sedang mengelilingi American Greetings, sebuah toko alat tulis besar dan lengkap di kota Aisle ini. Kedua sepupu itu berniat untuk membeli beberapa buku tulis dan pulpen dengan berbagai warna, sekolah akan segera dimulai, sehingga diperlukan persiapan untuk menyambut hari-hari itu kedepannya.
Sejujurnya Jeno bukanlah tipe siswa yang mencatat di buku tulis dan membacanya lagi di rumah, dirinya itu akan paham jika membaca buku acuan dan mendengarkan guru dengan baik. In another words, he is what you called the truly gem.
Lelaki berambut pirang itu alami pintarnya, jarang belajar tapi selalu mendapat nilai A hampir disegala pelajaran yang dirinya ikuti. Terkecuali untuk pelajaran fisika, karena siapa juga yang mencintai ilmu yang asalnya dari sebuah apel yang jatuh ke tanah itu.
"Kenapa membeli brush pen? Letteringmu kan jelek", ujar Haechan saat melihat sepupunya memasukkan dua pack brushpen Smiggle pada keranjang belanjanya.
"It's for someone, not me"
Haechan lantas mengerutkan dahinya, hanya tiga orang yang dekat dengan Jeno dan hanya orang-orang tersebut yang mungkin mendapatkan dua pack brushpen mahal itu. Dirinya sendiri pun tidak mungkin, Hyunjin bisa jadi, atau Yunseong dari kelas sosial.
"Harrison?"
"Tidak"
"Stevenson?"
"Not at all."
"Then, who?"
"Jeremy"
Senyum janggal milik Jeno terkembang sesaat setelah nama seseorang keluar dari mulutnya, bayangan wajah manis tetangganya yang sedang tersenyum memenuhi semua bagian otaknya. Memang gila, Jeno memang sudah gila, mereka berdua bahkan baru satu bulan kurang mengenal satu sama lain, tetapi perasaan meledak-ledak yang dirasakan olehnya seperti suami saat melihat istrinya yang sudah menemani hidupnya lebih dari lima puluh tahun.
Hiperbola, tetapi begitulah adanya.
Waktu pasca ciuman di pipi yang dilayangkan oleh si manis pada malam itu, rasanya sudah mengaduk-aduk hati Jeno, pikirannya jadi berkabut dengan sesuatu yang orang sebut sebagai cinta.
"Maksudmu tetangga manis, baik, cantik, seksi, dan imut yang setiap hari kamu ceritakan padaku itu?"
Kali ini Haechan bersedekap, matanya menghakimi atas wajah konyol Jeno yang terlihat seperti orang mabuk di bar murahan. Dirinya sebenarnya tidak tahu pasti bagaimana rupa dan bentuk manusia yang dikagumi oleh sepupu pirangnya itu, tetapi yang pasti jauh lebih menarik ketimbang Lia dan penggemar Jeno yang lainnya.
Lelaki yang lebih tua lalu menganggukkan kepalanya, rambutnya yang masih agak basah hasil keramas tadi menutupi sebagian wajahnya. "Iya dia, rasanya seperti ingin meledak tiap kali mataku melihat si manis itu. Bagaimana ini Dylan? Apa semua ini normal?"
Faktanya si tampan Witcherson itu adalah pemula dari segala macam tetek-bengek romansa, hanya dipenuhi oleh garis monoton antara belajar dan bertanding, tidak ada warna lain yang tertoreh dalam tiap liku langkahnya sebagai seorang remaja. Namun tidak setelah lelaki manis penggemar K-pop itu menerobos masuk ke hatinya, menghancurkan gembok keras yang mengunci bunga-bunga asmara yang lama terpendam dalam jiwanya.
"It is normal, semua orang yang jatuh cinta juga merasakan hal yang sama. Hanya saja kamu masih baru dalam perkara ini, tapi congratulation akhirnya seorang Jeno Witcherson telah sepenuhnya menjadi seorang manusia", ujar Haechan. Tangannya menepuk-nepuk pinggul si pirang yang berbalut jeans biru terang Uniqlo.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Box of Happiness | Nomin☆
FanfictionNomin Highschool Rom-com! Jeno Witcherson thought high school period is all about studying, competing, and drowning into music. But not until his new neighbour come and painting his toneless life. original story by woodzyjeno