Rizal De LoesieGemericik sungai di matamu
Terangguk daun bambu mengiring waktu
Menghilirkan desah pelukis langit
Dalam tatapan tak terkuak arus
Karena cinta dalam buih syair menghidupkan redup
membawa kemilau senja kepangkuan rindu
Saat itu,
Segala bumbu kuracik dari segala rempah
dihadapan tungku menguarkan hanya aroma tubuhmu
nan lekat di barisan jiwa paling dalam
malam menyamun, cahaya lilinmu tak pernah redup
membuaikan denyut mimpi tak berbatasSungai bening di matamu, tempat kubasuh alfa
menjerang beribu bait puisi, menanak keyakinan
semua peluh dan airmata bermuara
hanya padamuDalam syair yang paling sufi,
ayat-ayat rindu kubaitkan tepat di ujung malam
di tebing curam mimpi
tatkala raih tangan tak lagi berasa apa-apa
hanya lengan hampa. Udara membaca bait sendu
dari rintik rinai kembojaAku menghambakan cinta, dan kehilangan kasih
seperti air kini menyisakan buih di batu nisan
kelopak mawar yang rapuh berderai,
aroma dan tangkai tertanam
dalam jiwa paling dalamSungai matamu tak kan pernah kering
dalam syair kutimpakan beribu astu
seperti cahaya yang kutitipkan di pusaramu
adalah jiwaku dari keping asamu
untuk menyiasat rinduSelamat jalan kekasih, selamatlah ke surga
di sini puisi merupa doa dan syair adalah segala sabda
bermuara dan berawal pada tembang yang sama
sepanjang jalan yang masih disisakan waktu,
kita berhenti di batas alam berbedaBandung 2020