Day Two (4)

32 9 1
                                    


Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Bus yang ditumpangi Rania sudah dipenuhi penumpang dan bersiap akan meninggalkan Kota Yogyakarta. Sayangnya ada 2 mahasiswa yang masih belum kembali, yaitu Arfi dan Hanif. Hal ini membuat koordinator lapangan yang berada di bus tersebut kebingungan. Ia meminta bantuan teman-teman untuk menghubungi Arfi dan Hanif. Rania dibuat khawatir akan hal itu. Lalu ia mencoba menelepon Arfi tapi Arfi tidak menjawabnya. Salah seorang teman Arfi juga berkata bahwa Arfi tidak menjawab telponnya. Selang beberapa saat kemudian ada salah seorang mahasiswa yang berhasil menghubungi Hanif. Ia mengatakan bahwa Hanif dan Arfi sedang menuju bis.

Mendengar kabar itu membuat Rania sedikit merasa lega. Setidaknya ia tahu keberadaan Arfi. Beberapa menit kemudian kedua mahasiswa yang ditunggu-tunggu datang sehingga bus dapat melanjutkan perjalanan. Baru 5 menit berjalan, Rania sudah bertanya kepada Arfi. "Tadi kamu kemana ? Bukannya udah dibilangin sebelum jam tujuh harus sudah kembali ke bis."

Arfi menatap wajah Rania. Ada raut kekhawatiran disana. "Tadi aku makan sama Hanif."

"Kenapa makannya gak bareng aku sama Reza tadi ? Kalau kita bertiga masih barengan pasti kamu gak akan telat ke bis dan gak buat panitia kebingungan nyariin kamu."

"Kan udah aku bilang tadi. Aku mau ketemu saudaraku." Arfi berbohong. Bertemu saudara hanyalah sebuah alasan agar ia dapat memisahkan diri dari Reza dan Rania. Arfi mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Nampak di layar ada pemberitahuan beberapa panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Rania. "Tadi kamu telfon aku ? Kenapa ?" tanya Arfi.

"Ya itu tadi, aku khawatir soalnya kamu belum kembali ke bis. Ditelpon malah gak diangkat." Jawab Rania.

Ada sedikit rasa bahagia di hati Arfi saat mengetahui bahwa Rania mengkhawatirkannya. "Hehehe... maaf tadi Hpnya aku silent. Jadi gak tahu kalau ada telpon."

"Lain kali jangan suka silent HP kalau lagi pergi-pergi biar bisa dihubungi. Komunikasi itu penting Fi."

"Iya penting, supaya gak ada yang menduga-duga. Akhirnya salah sangka dan berujung kecewa." Kata Arfi.

Rania tidak mengerti dengan yang Arfi katakan. "Maksudnya Fi ?"

"Enggak, bukan apa-apa." Jawab Arfi.

Lampu didalam bis yang dimatikan, dinginnya ac, ditambah rasa lelah membuat beberapa mahasiswa merasa ngantuk sehingga mereka terlelap dalam tidurnya. Hal itu juga terjadi pada Rania. Perlahan ia memejamkan mata dan mulai terlelap.

Sementara Arfi masih belum mengantuk. Ia masih sibuk dengan handphonenya. Dalam sebuah aplikasi note ia menuliskan sesuatu.

Aku memang telah gagal memilkimu. Tapi itu tidak masalah karena sampai detik ini aku masih bisa didekatmu. Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau bukan, apakah ini sayang atau bukan, apakah ini suka atau bukan. Tapi intinya aku selalu merasa bahagia saat berada didekatmu.

Gunung Welirang jadi saksi kebersamaan kita yang pertama. Lalu kabupaten Klaten dan Yogyakarta menjadi saksi kebersamaan kita yang kedua. Tapi di Yogyakarta juga aku merasa seperti kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kebersamaan kita yang ketiga dan kuharap selamanya.

Terima kasih Rania. Senang rasanya bisa menjadi partner KKLmu. Walau bukan partner hatimu.

Arfi menekan tulisan Save pada layar handphonenya, lalu mengeluarkan aplikasi note dan mematikan handphonenya. Kemudian ia masukkan handphonenya ke dalam tas kecilnya. Selang bebera detik kemudian bahu sebelah kanannya terasa berat. Ia pun menoleh ke kanan. Rupanya kepala Rania bersandar pada bahunya. Arfi tersenyum sesaat melihat hal itu. Kemudian ia kembali menghadap depan. Perlahan matanya terpejam dan ia mulai tertidur.

ARRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang