14

532 74 15
                                    


Jimin terdiam di balkon rumahnya. Ia menengadahkan kepalanya ke langit, menatap hamparan biru tanpa bintang.

Ada banyak rasa penyesalan di dalam dirinya. Jimin hanya ingin menghindar karena tidak mau menyakiti Jeongyeon. Ia marah? Tidak. Ia hanya kecewa. Dari sekian banyak orang, kenapa harus mamanya Jeongyeon. Ia hanya tidak dapat menerima kenyataan itu. Maka Jimin memutuskan untuk berlari meninggalkannya sejenak, urusan kembali atau tidak, itu nanti. Entah ia harus benar-benar berlari dan pergi, atau berbalik untuk merengkuh apa yang telah ia perjuangkan.

Lelaki itu sudah menahan tangis, tapi gagal. Berkali-kali Jimin mengusap kasar air mata yang sudah membendung di pelupuk matanya. Membayangkan seberapa keras ia menyakiti Jeongyeon. Seberapa keras tangan itu menjauhkannya hingga ia mengaduh kesakitan. Seberapa keras ia mencengkram pergelangan tangan mungil hingga gadis itu meringis. Seberapa keras dan tinggi nada bicaranya hingga gadis itu terdiam, terkejut bahwa Jimin yang ia kenal telah berubah.

Ketika ia sedang kalut dalam pikirannya, ponselnya berdering. Menunjukkan nama Taehyung di sana.

"Ada apa Tae?" Ia mengangkat dengan suara parau.

"Jim... tolong sekali ini saja. Bicaralah pada Jeongyeon." Mohon Taehyung untuk kesekian kalinya.

"Taehyung, aku-,"

"Aku nggak minta kamu buat kembali ke sini. Nggak minta kamu buat tetep tinggal di sini. Kamu nggak papa pergi dan lupain semua kenangan buruk sama Papamu. Tapi tolong jangan libatkan Jeongyeon."

"Aku tidak-,"

"Apa dia tau kalo hal ini bakal terjadi? Kalo ternyata papamu sama mamanya itu ada hubungan? Enggak Jim. Jeongyeon sama sekali nggak salah. Tapi Jeongyeon terus-terusan minta maaf, mohon maaf sama kamu karna dia nggak mau jauh sama kamu Jim. Tolong ngerti..."

Jimin diam.

"Udah gitu aja. Aku cuman mau bilang itu aja. Aku suka sama Jeongyeon, aku sayang sama dia. Tapi kalo kamu pikir aku bakal ngambil kesempatan di keadaan kayak gini, aku nggak bakal ambil dia dari kamu. Aku tutup ya telponnya..."

"Tunggu." Jimin mulai bersuara.

"Kenapa?"

"Aku masih bisa dimaafkan?" Tanyanya dengan suara lemah. Jimin lelah menahan tangisnya, tapi juga enggan meluapkannya.

"Masih."

"Jeongyeon masih sama kamu?"

"Enggak. Dia lagi di rumah sakit."

"Hah? Sakit apa?" Jimin terperanjat. Ia beranjak dari kursi sambil mengacak-acak rambutnya.

"Kamu pikir sendiri lah. Dia kehujanan, nangis nggak berhenti-berhenti. Kamu pikir nggak pusing? Terus itu juga, lututnya biru gitu. Kamu sengaja mau bikin dia sakit kayak gitu biar nggak bisa ngejar kamu lagi?"

Jimin terdiam. Menyesal. Sungguh menyesal. Ia merutuki semua perlakuan kasarnya.

"Udah nggak usah makin dipikirin. Nanti kepalamu bisa mledak. Belum selesai mikir masalah satu, malah dapet masalah baru. Mangkanya, jangan lari dari masalah. Kamu sendiri yang kewalahan."

Taehyung benar. Tapi apa daya, disesali pun tidak akan berubah.

"Udah Jim, aku capek. Mau tidur. Ku tutup ya."




"Mama?"

"Ssstt... mama di sini."

Gadis itu tengah demam tinggi. Sepulangnya tadi bersama Taehyung, ia langsung dilarikan ke rumah sakit karena wajahnya sudah sangat pucat.

When We Were 17th [PJM]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang