10

521 103 22
                                    

Kenapa kalian tega nge siders sihh😔😖
Thankss buat yg sudah vote🥰








"Percaya gak kalo aku lahir gaada Ayah?"

Jimin mengerutkan dahi. "M-maksudnya?"

"Ah, kamu pasti tau maksudku Jim." Jeongyeon menatap Jimin, lalu kembali menatap kurus ke depan, ke arah jendela kamar Jimin.

"M-maaf, bukan gitu maksudku. A-aku..-," Jimin gelabakan sendiri mendapat respon seperti itu dari Jeongyeon.

"Nggak papa." Jawab Jeongyeon santai seolah itu bukanlah hal yang besar. "Maaf kalo bahasanya kasar dan terkesan blak-blakan. Dulu Mama suka ke club malam. Keadaan ekonomi keluarga Mama lagi bobrok banget. Mungkin ini alasan yang klasik buat ngelakuin hal yang nggak pantes kayak gitu. Tapi, ya itulah Mama. Mama bakal ngelakuin apapun buat keluarganya, kebetulan Mama punya adik yang masih SMP dan Mama yang tanggung biaya hidupnya."

Jeongyeon menoleh sebentar ke Jimin. Lelaki itu mengalihkan pandangannya, merasa tidak enak melihat Jeongyeon.

"Sampai suatu hari, Mama ketemu laki-laki mapan yang kebetulan lagi ada di club juga. Entah apa yang terjadi, mereka jadi deket terus pacaran. Mama bawa laki-laki itu, ya anggap aja Papa aku, ke rumah orang tua Mama. Orang tua Mama nganggap Papa orang baik-baik dan bakal jagain Mama. Tapi ternyata enggak." Suara Jeongyeon bergetar, ia hampir menangis.

"Hey, sudah. J-jangan dilanjutkan." Jimin membuka laci di sampingnya, mengeluarkan sekotak tisu dan menyodorkannya pada Jeongyeon. "Mau kuantar pulang?"

"Aku belum selesai cerita." Ucap Gadis itu tegas tanpa melihat ke arah Jimin.

"O-oke..."

"Tepat satu hari setelah Mama wisuda S1, Papa ngajak mama liburan ke luar negeri. Yah, kamu tau apa yang bakalan terjadi di sana kan Jim kalau awalan ceritaku kayak tadi?" Jeongyeon menoleh ke arah Jimin. Jimin mengangguk pelan. "Mama baru kasih tau kalo dia hamil pas usia kandungannya udah 4 bulan. Papa marah. Papa ninggalin Mama gitu aja." Jeongyeon tertawa hambar. "Ternyata laki-laki dewasa se brengsek itu ya Jim.."

Jimin ingin membalas 'iya' tapi tidak jadi. Mungkin itu akan memperburuk suasana hati Jeongyeon.

"Tapi setelah kejadian itu, Mama nggak kapok buat tetep kerja di club. Kalo kamu tahu rumah aku selalu sepi, itu karena Mama selau pulang dini hari. Dianter sama cowok yang aku gak kenal sama sekali, pake mobil mahal. Mama nggak belajar dari kejadian yang menimpanya. Aku nggak paham sama jalan pikiran mama."

Hening kembali menyelimuti untuk kesekian kalinya. Jimin mengubah posisi duduknya, menghadap Jeongyeon sambil menopang siku tangannya di atas kasur.

"Aku janji, nggak bakal ninggalin kamu."

Hah? Apa? Jeongyeon balik menatap Jimin keheranan.

"Aku janji bakalan jadi teman yang baik buat kamu. Aku akan selalu dengerin kamu, selalu ada di sisi kamu, dan jagain kamu."

Jeongyeon tersenyum sebentar. "Kalau begitu aku juga."

Jimin balik tersenyum, manis. Sangat manis. Jeongyeon baru menyadari laki-laki yang ada di hadapannya itu ternyata sangat hangat. Jantungnya jadi sedikit berdetak lebih kencang. Apalagi saat kedua sudut bibir itu ditarik kembali lebih lebar, sungguh sungguh senyuman manis yang tulus. Lalu kedua matanya yang menyipit, hilang. Berhadapan dengan Jimin sedekat ini membuat Jeongyeon gugup. Kedua netra gadis itu tidak kunjung lepas menatap wajah Jimin.

When We Were 17th [PJM]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang