03

700 120 28
                                    


Jeongyeon menggerakkan badannya yang terasa kaku. Kepalanya masih pening hingga penglihatannya terasa kabur. Ia dapat merasakan satu sentuhan hangat pada punggung tangannya.

"Kamu nggak papa?"

Jeongyeon mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kamu?" Ia sedikit terkejut dan langsung duduk. "Ngapain kamu di sini?"

"Nungguin kamu. Memangnya ngapain lagi?" Jawabnya santai. "Nih, katanya belum sarapan." Jimin menyodorkan sepotong roti pada Jeongyeon.

"Hah?"

"Ini." Jimin menggoyang- goyangkan roti yang ada di tangannya, menyuruh Jeeongyeon agar segera mengambil roti itu.

"Untuk?"

Jimin memijit keningnya. "Tentu saja untukku. Ya jelas untuk dirimu Yoo Jeongyeon. Kau pikir aku menunggumu di sini sambil memegangi sepotong roti ini untuk siapa?"

"Kenapa kamu marah-marah?" Jeongyeon menjawab dengan nada tidak suka.

"Astaga, aku tidak marah-marah." Jimin menggaruk kulit kepalanya. "Kau-, ah menyebalkan. Makan saja ini." Jimin menjatuhkan roti itu di atas pangkuan Jeongyeon.

Jeongyeon terdiam sebentar sambil memandang roti yang ada di pangkuannya. "Terimakasih." Ucapnya singkat sambil membuka plastik rotinya.

Jimin diam sebentar sebelum akhirnya menjawab. "Sama-sama."

Jimin sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan dengan ponselnya itu padahal ia sedang tidak ada paket data.

"Kamu kenapa nggak ke kelas?" Tanya Jeongyeon membuat Jimin mematikan ponselnya.

"Nunggu kamu lah."

"Gausah. Sana pergi ke kelas."

"Kok ngatur?"

"Ya terserah aku." Jeongyeon lagi-lagi sewot.

"Ya aku nggak mau. Kan aku masih mau di sini." Rasanya, membuat gadis di hadapannya kesal itu hal menyenangkan bagi Jimin.

"Yasudah tapi nggak usah di deketku. Sana pindah kursi lain." Perintah Jeongyeon seenaknya.

"Tidak mau." Jimin menjulurkan lidahnya.

Jeongyeon menghembuskan nafas kasar sambil beranjak turun dari ranjang.

"Loh, mau kemana? Kan masih sakit." Jimin ikut berdiri.

"Ke kelas." Jeongyeon merebut tas miliknya yang ada di pelukan Jimin.

"Kan masih sakit."

"Nggak."

"Bohong."

"Jim!" Jeongyeon menghentakkan kakinya kesal. Jimin langsung diam sambil merapatkan bibirnya.

"Maaf." Sebenarnya, Jimin sedang menahan tawa. Kan sudah dibilang bahwa mengganggu Jeongyeon sampai ia kesal adalah hal yang menyenangkan. Untuk kali ini, ia biarkan Jeongyeon pergi begitu saja. Tapi nanti, ia pasti akan kembali mengganggu Jeongyeon.



Pulang sekolah...

"Nenek sihir gaada yang jemput pulang ya? Aduh, kasihan banget." Jimin sedang duduk di atas motornya lalu tertawa dengan temannya yang lain.

Jeongyeon terus berjalan tanpa melirik Jimin sekalipun.

"Yah, masih marah ya? Maaf deh kalau gitu." Jeongyeon tetap tidak ada minat untuk membalas perkataan Jimin. "Nayeon mana Jeong? Tumben gak barengan." Jimin menyusul Jeongyeon dengan motornya.

"Apasih Jim." Jeongyeon mempercepat langkahnya.

"Eh, beneran marah. Maaf deh kalau gitu. Mau dianter pulang?"

When We Were 17th [PJM]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang