08

625 107 9
                                    


Tolong dong vote nya!!
😊

●●●

Panas matahari mulai terasa. Saat ini menunjukkan pukul sembilan pagi, dan keduanya masih berada di atas motor terus berkeliling mengitari kota.

"Sebenarnya kamu mau ajak aku kemana sih Jim?" Jeongyeon membuka kaca helmnya.

"Mau jalan-jalan aja sih. Muter-muter biar kayak orang pacaran." Jawab Jimin. "Memangnya kamu mau aku bawa kemana?"

"Ck. Aku sedari awal kan nggak mau dibawa kemana-mana."

Jimin tertawa. "Ke rumahku mau?"

"Ih! Ngapain?!" Kata Jeongyeon dengan keras, terkejut.

"Nggak ngapa-ngapain. Emangnya kamu mau ngapa-ngapain? Hayo..."

"Apasih. Aku cuman nanya."

"Yaudah ke rumahku aja ya." Ajak Jimin.

"Nggak mau!" Jawab Jeongyeon lantang.

"Tenang. Aku gak bakal ngapa-ngapain kok, aku nggak se nakal itu, Jeong." Ucap Jimin menenangkan. Yah, walau gadis yang sedang ia bonceng tidak ada perasaan tenang sama sekali. "Bantuin habisin coklat di rumah dong. Mamaku barusan pulang dari singapur, beli coklat banyak banget. Gak kuat ngehabisin."

"Coklat?"

"Iya, coklat. Ada ice cream juga. Kamu kan suka ice cream."

Jeongyeon hanya mengangguk-ngangguk. Ia memajukan bibirnya. Berpikir tentang keharmonisan keluarga Jimin. Pasti kedua orang tuanya sering berlibur keluar negeri, berbelanja barang mahal, makanan mahal, dan Jimin pasti sangat bahagia. Sedangkan ia? Orang tua tidak jelas yang suka pulang malam. Kadang juga sering membawa orang lain saat pulang. Sungguh menyedihkan hidupnya. Membayangkan keluarganya yang hancur, hidupnya yang kacau, bahkan dengan mengingat semua kejadian yang telah terjadi mulai dari beberapa tahun lalu membuat gadis itu ingin menangis.

"Jeong, kok diam?"

"Ha? Apa?"

"Kamu ngantuk?"

"Eng-enggak kok."

"Oh.. kukira kamu tidur. Kukira pundakku jadi nyaman. Kamu barusan sandaran di bahuku, terus kamu diam. Kukira kamu tidur."

Jeongyeon mengangkat kepalanya. Ia sungguh tidak sadar bahwa kepalanya sedang bersandar di bahu Jimin. "Ma-maaf.." ia jadi malu sendiri.

"Nggak papa, nggak usah minta maaf. Mau sandaran lagi juga boleh kok, gak ada yang larang."

Jeongyeon memukul pelan pundak Jimin. Pipinya memanas, ia malu, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Tapi kalau boleh jujur, memang nyaman sih bersandar di bahu berisi milik Jimin. Wangi juga. Eh.. Jeongyeon mengusir pikiran aneh yang ada di dalam otaknya, lalu mendengus pelan.


Jimin memarkir motornya di halaman depan. Lalu melepas sepatunya di depan pintu rumah, memasukkannya di rak.

"Ayo sini." Jimin menarik tangan Jeongyeon pelan. "Berikan sepatumu." Jeongyeon mengikuti perkataan Jimin. Melepas sepatu dan memberikan sepatu padanya agar diletaklan di rak. "Kenapa diam saja? Kamu beneran takut aku ngapa-ngapain? Astaga, di dalam ada Mamaku."

When We Were 17th [PJM]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang