Aku punya imajinasi tentang masa depan.
Lulus kuliah, bekerja, lalu menikah.
Hanya tiga hal itu yang ingin aku jalani secara normal. Belajar sambil bercanda dengan teman ku, bekerja dan membahagiakan kedua orang tua ku, lalu menikah dengan orang yang aku cintai.
Sesederhana itu.
Tapi sayang, imajinasi ku tak akan pernah terwujud.
Aku sudah menikah. Raga dan jiwa ku sudah bukan milik ku sendiri, semua waktu luang sudah tak bisa ku nikmati sendiri, bukan hanya mengurus diri, aku juga harus mengurus suami ku.
Menyesal? Iya. Tapi akan aku jalani kehidupan ku dengan sepenuh hati.
Aster tidak seburuk yang ku kira. Laki-laki itu sering memanjakan ku, mengajak ku bicara walau hanya sekedar bertanya sudah makan atau belum, membelikan ku segala keperluan yang tidak aku minta.
Aku menghargai nya. Walau aku tidak bisa menebak sifat Aster yang sering berubah dingin.
Sama seperti sekarang.
Aku berbaring di ranjang, bantal terselip di bawah pinggang ku, jilbab merah yang seharusnya ku pakai aku letakkan begitu saja di meja. Tangan ku mencengkeram sprei, sesekali meringis menahan sakit.
Datang bulan. Biasa nya tidak sesakit ini, kalau pun sakit pasti di hari pertama menstruasi.
Ini sudah hari ke-3 ku. Dan rasa sakit nya malah semakin parah. Aku tidak bisa bergerak leluasa sejak dua jam yang lalu. Aster, suami ku entah pergi kemana sejak pagi. Tidak ada orang lain di rumah selain pembantu, itu saja dia sedang berada di dapur. Menyiapkan makan sore.
Aku berada di rumah Aster sejak kemarin. Tidak ada yang menyambut kami. Kalimat yang sudah kusiapkan untuk berhadapan dengan orang tua Aster terlupakan begitu saja. Mereka tidak ada. Aku kira setelah tidak datang ke pernikahan kami, mereka akan datang menyambut dengan senyuman cerah. Sedangkan oma masih di Solo, kesehatan nya yang menurun membuat dia harus lebih banyak beristirahat.
"Astagfirullah..." Gumam ku. Mata ku basah, saat aku berkedip air mata ku jatuh. Aku menangis. Tidak kuasa menahan rasa sakit.
Pikiran ku merutuki Aster yang pergi tanpa pamit. Dia tidak meninggalkan secarik kertas sebagai cacatan kalau dia pergi, tidak meninggalkan nomor ponsel kalau aku membutuhkan bantuan nya.
Kalau terus seperti ini, bagaimana nasib ku?
***
Kening ku berkerut, mata ku terbuka secara perlahan. Mengerjap pelan, aku menoleh ke sisi jendela. Langit sudah gelap. Entah sejak kapan aku tertidur, tapi rasa sakit di perut ku sudah berkurang.
Kamar yang aku tempati terang sejak aku membuka mata, padahal aku tak ingat menyalakan lampu sebelum terkapar tadi.
Mengedarkan pandangan, aku terkejut melihat Aster duduk di sofa dengan buku di tangan nya.
Tangan ku bergerak, hendak meraih jilbab yang ada di meja samping ku. Pergerakan ku membuat Aster menatap ku. Aku berdeham. Menaikkan selimut ku sampai atas kepala.
Aster menutup buku, dia berjalan mendekat lalu duduk di samping ku. Tangan nya menyentuh kening ku. "Masih sakit?"
Aku menggeleng. Memasukkan untaian rambut ku ke dalam selimut. "Udah lumayan."
Tangan Aster ikut memasukkan rambut ku ke dalam. Dia bergumam. "Nggak usah kamu tutupin nggak pa-pa, udah sah juga."
Wajah ku memerah. Aku berpaling, enggan menatap mata nya. "Jam berapa sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
One hundred:You're Perfect
Teen Fiction"Ijinkan saya menikah dengan Annisa." Nama ku Annisa. Annisa Ramadhani. Baru berumur 20 tahun ketika ada laki-laki mempersunting ku sehari setelah liburan semester ku tiba. Nama nya Aster. Aster Pradipta. Dia cinta mati selama tiga tahun lebih pad...