Chapter 05

93 6 9
                                    

Aku keluar kamar, menuruni tangga dengan langkah lemas. Menghela napas kesal, aku menuju dapur, hendak membuat segelas susu hangat dan roti untuk sarapan ku.

Suami ku, Aster. Dia meninggalkan ku lagi. Kita memang shalat subuh bersama, dia mandi setelah selesai membaca Al-Qur'an, lalu menghilang di telan bumi saat aku keluar kamar membersihkan rumah. Tanpa pamit pada ku, atau sekedar membiarkan ku mencium tangan nya sebagai bentuk ketaatan ku sebagai istri.

Saat pulang juga dia tak pernah memberitau darimana dia setelah menghilang. Jadi setelah hampir seminggu berada di rumah nya, aku tak tau keseharian dia. Apa yang dia lakukan saat matahari menampakkan diri, aku juga tidak tau setipis apa keberadaan ku bagi dia.

"Muka lo tambah jelek. Please lah, jangan ngerusak pemandangan." Aku terlonjak kaget. Hampir menjatuhkan pisau yang mengoleskan selai di roti ku. Menoleh ke belakang, aku melirik Suga tajam. Memberitau nya dari tatapan mata ku kalau dia menganggu.

"Mata lo kenapa? Udah berubah jadi zombie lo?"

Aku kembali mengoles selai. Apapun yang aku lakukan tak berdampak pada nya. Entah sindiran ku yang kurang keras atau dia nya yang bermuka tebal.

"Abis nangis lo? Mau minta cerai? Perlu gue anter ke pengadilan?"

Ya Allah. Bisa kah membuat Suga lebih pendiam hari ini? Hanya hari ini. Aku lagi tidak ingin mendengar segala hinaan yang terlontar dari bibir lamis nya.

Tapi diam-diam, aku menyentuh kantung mata ku. Efek habis menangis semalam, karena Aster membandingkan ku dengan Nameera lagi. Aku berdoa dalam diam, semoga pertemanan ku dengan Nameera nanti tidak hancur hanya karena omongan menusuk suami ku.

"Buatin kopi. Gula nya jangan banyak-banyak."

Mendengus, aku membawa susu dan roti ku di atas meja makan. Aku memilih tempat paling jauh dari tempat dimana Suga duduk. "Buat sendiri."

"Nyawa gue belum kekumpul. Buatin aja."

Aku merapalkan doa, lalu meminum seteguk susu. "Kamu masih punya kaki sama tangan. Selagi punya, gunakan sebaik-baik nya."

"Aster beneran bikin lo nangis ya?"

Aku menutup mata ku rapat. Berdiri, aku mengambil gelas lain di dapur. Mengambil kopi dan menyendok gula sebanyak-banyak nya. Masa bodoh dengan permintaan nya tadi. Mau aku kasih banyak gula atau sedikit juga aku tidak peduli, yang penting aku sudah menuruti kemauan nya.

Menuangkan air panas dan mengaduk nya asal, aku membawa segelas kopi di hadapan nya. Tak lupa, aku mengambil roti dan dua selai berbeda rasa di hadapan nya. Itung-itung biar perut nya terisi.

"Makasih."

Aku mengangguk samar. Dia bisa bilang makasih ternyata.

"Lo beneran mau cerai sama Aster?"

"Cerai nggak di anjurkan dalam agama." Aku melirik Suga. Dia mengoleskan selai kacang di atas roti. Padahal aku berharap dia mencicipi sedikit kopi yang ku buat, ingin sekali aku melihat ekspresi nya nanti.

"Lo nangis gitu karena Aster. Yakin nggak mau cerai?"

"Aku anggap ini waktu buat kami pendekatan. Aster melamar ku di waktu kami hampir nggak pernah mengobrol. Jadi, daripada berpikir buat cerai, bukan nya lebih baik buat jadiin waktu sekarang sebagai bentuk perkenalan?"

"Gimana kalian mau kenalan? Dia pergi pagi pulang malam kan?"

Ya Allah. Ucapan nya menohok sekali. Ingin menangis rasa nya.

"Butuh waktu. Dia juga sibuk ngurus pekerjaan, apalagi dia juga ngurus kuliah aku. Aku nggak bisa nyalahin dia kalau dia nggak ada waktu buat aku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One hundred:You're PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang