Aku pikir aku gila, tapi aku sadar kalau bapak yang paling gila disini.
Dia menerima lamaran Aster begitu saja tanpa menanyakan pendapat ku sedikit pun, sekedar bertanya apakah aku mencintai nya atau tidak bahkan tak pernah.
Gila nya lagi, pernikahan di adakan seminggu setelah Aster datang ke rumah ku.
Ini masih hari sabtu, berarti aku masih memiliki waktu sehari sebelum hari pernikahan ku.
Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan. Terlepas dari sifat kelancangan dan kegilaan Aster, laki-laki itu memiliki paras yang tampan, ramah pada orang yang lebih tua, bisa mengakrabkan diri dimana pun dan kapan pun dia berada.
Terlebih lagi, yang paling utama dan tidak boleh terlewatkan, Aster adalah seorang muslim yang taat. Shalat tepat waktu, sering mengumandangkan adzan di masjid dekat rumah, lantunan ayat suci al-Qur'an nya yang indah ingin aku rekam dengan ponsel ku.
Aster sempurna. Sebagai seorang menantu, tapi tidak untuk calon suami.
Tau kenapa? Karena dia tidak berbicara sama sekali dengan ku.
Sama sekali!
Bahkan setelah dia melamar ku, dia masih tidak mengajak ku bicara.
Astagfirullah. Bagaimana bisa aku akan menikah dengan laki-laki seperti ini?!
Tak berperasaan, si makhluk paling keji yang pernah aku temui, kelancangan nya mengalahkan si buto gila yang menyewa jin membangun candi sebagai syarat mempersunting Roro Jonggrang.
Aku tak paham dengan jalan pikiran nya. Sebagai umat muslim, kenapa dia tidak berpikir tentang kesucian sebuah pernikahan?!
Pernikahan hanya ada sekali seumur hidup, tidak ada rujuk atau menikah lagi dengan orang yang berbeda.
Sebagai perempuan, aku menolak keras dengan apa yang dimaksud perceraian! Sekali pun aku tau kita tidak saling mencintai, aku tidak akan pernah mengucapkan kata cerai setelah para saksi mengucapkan kata sah.
"Mau bicara sebentar?" Aku reflek menoleh. Menatap terkejut pada Aster yang berdiri di depan pintu kamar ku.
Memilin seutas benang yang mencuat dari jilbab yang aku kenakan, aku mengangguk gugup. "Bicara apa?"
"Bisa keluar? Kita bicara di ruang tamu aja."
Aku meletakkan boneka yang ada di dekapan ku, berjalan pelan mengikuti Aster. Sesekali aku balas tersenyum saat ada ibu-ibu yang tersenyum menyapa.
Aster duduk di kursi single, tangan nya saling tergenggam dengan paha sebagai tumpuan. Sedangkan aku duduk di kursi panjang yang agak jauh dari nya.
Aster melirik ku, tangan nya menepuk kursi yang ada di dekat nya. "Duduk sini."
Suka memerintah! Tak peduli perasaan orang! Tidak bisa kah si manusia tidak punya hati yang aku tatap ini bertanya dengan suara lembut? Bukan malah memerintah dengan wajah datar.
Aneh nya, aku segera beranjak lalu duduk di kursi yang dia maksud. Mungkin ini yang dinamakan detik-detik sang calon istri yang akan bertekuk lutut pada sang calon suami.
"Aku Aster Pradipta."
Kenapa baru perkenalan sekarang wahai duplikat pangeran inggris ku?!
"Aku Annisa Ramadhani."
Aku menjawab. Tentu saja. Karena aku calon istri nya! Astagfirullah, kenapa aku menerima nasib yang tidak bisa di bilang sial ini?!
"Umur ku sudah 24 tahun. Sudah sidang bulan kemarin."

KAMU SEDANG MEMBACA
One hundred:You're Perfect
Fiksi Remaja"Ijinkan saya menikah dengan Annisa." Nama ku Annisa. Annisa Ramadhani. Baru berumur 20 tahun ketika ada laki-laki mempersunting ku sehari setelah liburan semester ku tiba. Nama nya Aster. Aster Pradipta. Dia cinta mati selama tiga tahun lebih pad...