13: Master in Quest

981 169 24
                                    

Wawawaaa, udah nyampe sini ternyata~

P.s: sebetulnya ini udah kutaruh di Dreame. Bab lanjutannya ilang, so I need to work again on every story I write. Untuk sementara, (very) slow update dulu ya~

-


Sial! Sial! Sial!

Hanya umpatan yang bisa Taehyung lakukan saat ini. Hari ini hasilnya tetap sama. Pelosok Merveil sudah dia jelajahi, namun wanita yang dia cari masih belum bisa ditemukan. Satu sisi dalam dirinya seakan menertawakan semua waktu yang dia buang, dengan brengseknya berkata, "Sudah kubilang, semuanya percuma. Takdirmu memang begini."

Taehyung benci itu—takdir. Sesuatu yang katanya sudah diatur sejak awal dan tak bisa diubah, laiknya jalan cerita yang sudah ditentukan sang penulis, dan manusia hanyalah karakter yang dirancang dewa agung.

Dulu ibunya selalu bilang dewa selalu punya rencana baik di akhir bagi tiap orang. Dewa Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Mengerti, dan maha lainnya. Di masa kecilnya, sosok itu yang Taehyung jadikan sebagai pegangan, tempat semua harapannya tertuju, pengisi dongeng-dongeng tidur yang dilantukan sang ibu.

Dan itu juga yang membuat seorang Kim Taehyung terlalu naif.

Hingga saat ini, gambaran malam pembantaian masih tercetak jelas dalam ingatannya. Kobaran api di tengah kabut menyesakkan yang menyelimuti desa, bercampur dengan debu dan uap. Jika dewa memang ada, kenapa semua kekejaman itu terjadi? Dia selalu berharap Merveil akan jadi tempat yang lebih baik, mengucapkan doa bersama-sama dengan ibunya, tetapi semua itu dibalas dengan kenyataan kontras.

Dewa itu hanya konsep utopis. Itulah yang Taehyung percaya saat ini. Dan itu juga yang membuatnya ingin terus berusaha sekalipun dirinya diikat kegelapan.

Sebentar lagi. Dia menyemangati diri. Pasti ada jalan. Dia tidak akan menyerah, bahkan pada takdir yang menunggu di depan sekalipun. Namun dia pun tak bisa memungkiri, mencari tanpa hasil memang melelahkan. Malam ini dia tidak bisa menemukan wanita itu. Bertanya pun nihil. Tidak ada yang tahu Klan Maite, dan Taehyung tak menemukan sebutan itu di perkamen atau catatan sejarah mana pun.

Tapi... wanita itu tidak mungkin bohong.

Dia masih ingat, hanya dengan menyecap sedikit dari darah wanita yang mengaku Klan Maite itu, Taehyung bisa mengendalikan dirinya lebih baik. Dia bisa menahan dorongan yang mencoba mengambil alih tubuhya. Dia butuh kemampuan itu sekarang. Semuanya sudah terlalu jauh dari rencana yang dia buat.

Taehyung berjalan ke arah pohon dan berhenti sejenak begitu merasa sudah masuk paling dalam, bersandar sembari menghela napas. Malam ini dia mengunjungi pasar terakhir yang ada di Nord. Tidak ada hasil. Dia bertemu dengan wanita berdarah ajaib itu juga di sini dengan membawa beberapa herbal, tapi yang Taehyung cium justru aroma lavender dan laut. Katanya itu aroma sihir klan mereka.

Tapi tidak ada yang punya aroma begitu, tak peduli ke mana pun Taehyung mencari.

Lavender dan air laut. Aku harus bisa—

Tiba-tiba Taehyung diam, berhenti melangkah. Spontan laki-laki itu menoleh ke samping kanan. Telinganya menangkap bunyi sesuatu yang bergerak. Namun bukan hanya itu yang membuatnya termagu. Ini bukan soal telinganya, tetapi hidungnya juga.

Aroma itu. Ya, Taehyung yakin.

Buru-buru dia meluruskan punggung, bergerak cepat untuk menangkap bunyi itu. Beberapa pohon darinya ternyata ada seseorang. Kegelapan menghalangi pandangan Taehyung, tapi dia cukup yakin itu manusia. Setidaknya, terlihat begitu.

Apostrophe (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang