"Hiks...hikss..."
Remaja perempuan yang tengah duduk di pojok kamarnya itu tengah menangis. Ia merasa dunianya telah hancur detik ini juga. Jika seperti ini, untuk apalagi hidupnya?
Alkamora, seorang gadis yang hobi bermain layangan, sangat suka memakai celana pendek, manja, semaunya sendiri, ia baru saja mendapat tamparan keras di hidupnya.
Kesedihan Mora bukan karena putus cinta, bukan karena duit jajan dipotong, bukan karena rambutnya yang tidak dikunciri Bundanya, bukan karena segala aset yang dimilikinya disita. Plis, bukan itu.
Mora menangis tersedu-sedu begini karena barusan Bunda dan Papanya mengambil sebuah keputusan yang sangat menyakiti relung hatinya.
Gadis seperti Mora, hidup di tengah-tengah publik dengan keseriusan setinggi langit. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Papa dan Bundanya memasukkannya ke asrama? Buruk? Jelas.
"EH, ITU TARIK LAYANGANNYAA!! TARIK-TARIK, AWAS PUTUSS!!" seru Mora pada Inal.
Inal, anak berusia 13 tahun itu sedang menarik benang layangannya supaya tidak putus.
Mora kembali memainkan layangan yang ada di genggamannya. Angin sore ini sangat kencang, tapi semua itu tidak meruntuhkan tekad Mora dan teman-temannya untuk melakukan kebiasaan sore mereka. Bermain layang-layang.
Mora melihat layangan milik Inal yang bisa diperkirakan bentar lagi akan putus. Cepat-cepat ia menggulung benang layangan miliknya sampai habis dan menaruhnya di atas tanah lapang yang saat ini ia pijak.
Mora menyenggol Inal lumayan kencang dan mengambil alih layangan milik Inal itu. Ia tarik perlahan suapaya benangnya tak putus.
"Anginnya kenceng, Gus," ujar Inal pada Mora mengingatkan.
Anak-anak yang lain pun masih asyik dengan layangan di genggaman mereka.
"Gas gus gas gus, lu pikir gue Agus! Bunda bagus-bagus ngasih gue nama Mora buat apa kalo dipanggil Agus mulu sama lu, Nal?" katanya sambil memainkan layangan. Tatapannya masih terfokus ke atas sana.
"Ya, kan, di Bali kalo manggil Kakak perempuan gitu, udah kebiasaan."
Mora berdecak, "Diem bibir lu, jangan ngoceh terus. Lagi fokus nih."
Saat sedang fokus seperti itu, tiba-tiba saja layangan yang dipegang kendalinya oleh Mora itu terbang ke arah yang tidak diinginkan. Entah bagaimana, benang layangan itu melilit kabel listrik di atas sana.
"Gus, gus, lepas benangnya gus, tar kesetrum! Lepas, gus!" Inal berteriak karena ia tau, Mora tak akan mendengarnya.
Benar saja, hari ini sepertinya Mora memiliki terlalu banyak energi hingga benang layangan tersebut menarik kabel listrik turun ke bawah, dua antena yang berdiri kokoh di atas sana pun bernasib sama seperti kabel listrik. Anehnya bukannya benang yang putus, malah kabel yang tertarik ke bawah.
Seketika saja terdengar protesan penghuni rumah korban. Korban ulah Mora, entah yang keberapa kalinya. Sering, Mora bermain layangan di lapangan seperti ini dan berakhir nahas. Layangan yang putus dan nyangkut di atas pohon tetangga yang rumahnya ada di dekat lapangan. Juga ada rumah yang gentengnya bocor karena Mora yang memanjat dan menginjak genteng tersebut hingga retak. Masih banyak lagi yang lainnya.
"HEH, SAPA INI YANG RENYEKIN ANTENA RUMAH GUAA! BENER-BENER EMANG YA!" teriak penghuni rumah tersebut yang antenanya menjadi korban.
Tak lama, disusul lagi teriakan dari rumah di sebelahnya, "NI PASTI BOCAH MAENIN LAYANGAN! ANTENA RUMAH GUA KENAA, SINI LU BOCAH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKABENA
Teen FictionArgani Adiwilaga, Bena Bahuwirya, Alkamora. Mereka hanya tiga remaja yang tak sengaja bertemu, dan bersapa. Kisah klasik yang sering didengar, mereka mengalaminya. "Semua yang ada tak harus kita punya, selalu tinggal dan tetap di sisi lebih indah...