Hari ini Bunda dan Mora berada di Mall. Mereka membeli beberapa kebutuhan untuk dibawa Mora ke sekolah sekaligus tempat tinggal barunya.
Mora hanya diam, setiap Bunda bertanya dia hanya bergumam. Saat diajak makan pun, perempuan itu menolak. Bunda mengerti, tapi ini adalah keputusan matang yang sudah dipikirkannya sejak beberapa bulan lalu. Semoga, dengan ini, Mora bisa mengerti dari maksudnya.
Di kasir, Mora hanya diam. Mengikuti kemana Bunda pergi. Setelah selesai membayar semuanya, mereka berjalan keluar Mall.
Mora mendahului Bunda. Iya, tidak apa, Bunda tidak marah Mora berlaku seperti itu, ia memaklumi.
Mora masuk ke dalam mobil, tidak membiarkan Bunda membuka pembicaraan mengenai makan siang. Mora bisa membaca situasi, jadi ia cepat-cepat masuk.
"Nanti kita berenti di tempat biasa dulu ya, Bunda mau beli makan. Buat kamu, Bunda, sama Tama."
Mora tak menjawab dan hanya menatap keluar. Ia tak ingin bicara.
Mobilnya mulai melaju, dan Mora mulai berpikir gila. Lihat saja.
••••
Pintu utama terbuka dan menampilkan Arga yang masuk dengan penampilan yang sedikit berantakan.
"Habis bolos darimana lagi kamu, Arga? Dari tempat tongkrongan gak jelas itu?"
Arga hanya diam tanpa menatap Papanya yang tengah bicara padanya. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar, sengaja menutup telinga rapat-rapat.
"Semakin dibiarin, semakin bengal ya kamu."
Arga berhenti dari langkahnya, tanpa menoleh ia berkata, "Perlu tau, Pa. Disana juga ada Bena. Jangan lupa itu."
Ia kembali melanjutkan langkahnya, hatinya kembali tersulut setiap memasuki tempat ini. Rasanya seperti di neraka.
"Lalu? Papa juga harus marahin dia seperti Papa marahin kamu gini?" Papanya tersenyum mengejek, "dia punya otak,Arga, dia ngerti sama apa yang Papa ucap. Gak kaya kamu, telinga ada, otak ada, tapi gak berfungsi dengan baik."
Tiba-tiba Arga berhenti tepat di depan pintu kamarnya, tangannya sudah berada di kenop pintu. Namun pergerakannya terhenti karena ucapan Papanya.
"Ati-ati, Pa. Omongan Papa bisa jadi doa." Setelahnya ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan pelan. Tanpa emosi.
Di dalam kamarnya, Arga menjatuhkan tasnya di lantai. Pikirannya bercabang. Semuanya seperti berebut di otak Arga menempati posisi utama untuk dipikirkan.
Arga mendudukkan dirinya di pagar balkon kamarnya. Hari ini, ia pergi lagi dari asrama. Untuk malam ini, ia ingin di kamarnya dulu. Kamar pribadinya. Di rumahnya, oh, ralat. Di rumah orangtuanya.
Ia merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya, dicarinya kontak Bena disana.Tanpa menunggu lama, panggilan tersebut pun terhubung.
"Gue lagi di rumah, lo mau nitip apaan kalo gue balik?"
Bena belum menjawab, mungkin sedang berpikir.
"Ck, mikir aja lama bener lo. Cepetan dong."
"Ekhm...bawain bucket bunga aja. Bunga yang biasa gue pesen."
Mendengar jawaban itu, Arga sedikit tercengang. Ya ampun, anak itu tidak ada kapoknya.
"Heh, curut. Lu pikir bunga yang kemaren lu titipin ke gue itu begimana? Dibuang anjir ujung-ujungnya juga. Mubazir asal lo tau."
Terdengar suara tawa ringan dari sebrang sana, Arga menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap aneh pada nama Bena yang tertera di layar.
"Setres kayanya lo, Na, keseringan ditolak Tesya. Pake ketawa segala."
"Anjir emang lo, Ga. Udah bawain aja bucket bunga yang biasa gua pesen."
Arga menghela napas kasar, terdengar rusuh di telpon.
"Yaa, ya. Itu aja?"
"Lo ada cerita apa hari ini?"
Omong-omong tentang cerita, ingatan Arga jatuh pada kejadian sore tadi. Dimana ia menabrak perempuan di jalan dan ditinggalkan sebuah layangan.
"Gue nabrak cewek pas lagi bawa mobil."
"Bego," jawab Bena asal.
Arga terkekeh mendengar Bena, benar, bego memang. Ia baru saja menabrak seorang perempuan yang sepertinya satu taun lebih muda darinya.
Cewek itu. Layang-layang.
"Udah, ah. Gue mau nge-game dulu."
Paggilan tersebut terputus. Menyisakan Arga yang masih diam disana. Sepertinya, sebelum balik ke asrama, ia harus ke tempat tadi sore dulu. Ia ingin bertemu dengan perempuan itu, sekali lagi saja.
••••
Percobaan kabur yang ingin Mora lakukan tadi siang itu gagal. Bundanya memergoki Mora ketika dirinya jalan mengendap-endap saat menuju meja makan di tempat makan tersebut.
Hari ini adalah hari terakhirnya di rumah. Besok, kehancuran dunianya akan segera dimulai. Tunggu saja.
Terdengar suara pintu yang terbuka, menampilkan Papanya disana. Mora menurunkan selimut yang tadi menutup seluruh badannya.
"Papa kok kesini?"
Papanya hanya di ambang pintu, beliau mematikan lampu kamar Mora.
"Kebiasaan, kalau tidur lampu dinyalain."
Setelah itu pintu kamarnya kembali tertutup. Berharap apa sih emangnya? Berharap Papa dan Bundanya mengubah keputusan untuk tidak memasukkan Mora ke asrama? Mustahil. Kalaupun iya, sepertinya Mora belum bangun dari tidurnya. Masih asyik berjelajah di alam mimpi.
"Gue? Pake rok? Emang bakal betah? Pake celana dalem aja gue mendingan."
Mora menatap langit kamarnya, besok ia tidak akan tidur disini lagi. Ini malam terakhirnya di rumah. Ya ampun, kenapa harus asrama sih?
Bagaimana nasib celana-celana panjang Mora? Bagaimana nasib rambutnya? Katakan pada Mora bagaimana caranya. Masalahnya Mora tidak bisa jika tidak pakai celana. Apalagi jika harus memakai rok, ia tidak akan bisa bebas bergerak, berjalan sok anggun, lenggak-lenggok. Plis, bukan Mora banget. Mora juga tidak bisa menguncir rambut sendiri. Ia butuh Bunda yang bisa selalu menguncir rambutnya.
Menyebalkan.
Semoga, di asrama nanti, ia masih diberi umur panjang. Dan tidak mati mendadak disana.
••••
Segini dulu,
Semoga cinta :D
Daah 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKABENA
Teen FictionArgani Adiwilaga, Bena Bahuwirya, Alkamora. Mereka hanya tiga remaja yang tak sengaja bertemu, dan bersapa. Kisah klasik yang sering didengar, mereka mengalaminya. "Semua yang ada tak harus kita punya, selalu tinggal dan tetap di sisi lebih indah...