Pagi ini, Mora bangun lebih pagi. Tanpa alarm, tanpa Bunda, Yasa, dan Papa yang membangunkannya. Ia bangun sendiri hari ini.
Mora sudah mandi dari satu jam yang lalu, sekarang ia berada di mobil. Ini sudah di perjalanan menuju asrama yang akan ia tempati, sekaligus sekolah barunya. Berhubung sebelumnya, ia hanya homeschooling.
Parah? Memang. Bisa dibayangkan dari sekarang bagaimana Mora berinteraksi dengan banyak orang. Memang, mungkin tak sesulit yang dibayangkan karena Mora memiliki teman main yang lumayan banyak. Tapi, mereka semua umurnya di bawah Mora, dan semuanya juga laki-laki.
"Bunda udah survey di asrama itu, tepat waktu kamu mau masuk SMA. Tapi, kamu gak mau. Kamu milih homeschooling. Jadi, ya udah, Bunda gak kasih tau kamu."
Mora tau, Bundanya itu pasti lagi berusaha mencairkan suasana. Supaya Mora mau berbicara lagi. Tapi, Mora masih tidak mau membuka jalan. Mora masih diam.
"Uang saku, ada di tas bagian depan. Pokoknya segala yang kamu butuhin udah ada. Disana nanti baik-baik ya, jangan bikin ulah. Jadi anak baik-baik ya, bisa?"
Bundanya berkata dengan nada lembut. Mora semakin memalingkan wajahnya. Semakin tak ingin dilihat. Jika begini, bagaimana Mora bisa terus-terusan diam? Rasanya Mora ingin terus berada dalam dekapan Bunda, menghabiskan banyak waktu bersama Yasa, Tama, dan Papa. Setidaknya, untuk terakhir kali sebelum masuk asrama itu. Tapi sayang, ego Mora terlalu besar. Lebih besar dari gaban,mungkin.
Hari ini Papanya tidak dulu masuk kantor, karena ingin mengantar Mora. Yasa tidak bisa ikut karena ada kelas pagi ini di kampusnya. Tama ikut, dan kini duduk di samping Mora. Adiknya itu sibuk memainkan game di ponsel yang berada di genggamannya.
Mobil berhenti di area parkir. Jantung Mora mulai berdetak tidak normal, seperti ada hawa tidak enak di hatinya yang menyeruak. Berteriak bahwa Mora tak ingin. Setidaknya berontak. Tapi Mora tak bisa. Ia hanya dia memandangi siswa-siswi yang berlalu lalang.
Diam-diam Mora mengepalkan tangan dengan erat. Ia keluar dari mobil, menatap kesana-sini. Luas. Sangat luas. Ini sekolah apa Taman Mini? Luas banget.
Tidak jauh dari area parkir ada lapang yang dipenuhi rerumputan, juga ada taman yang juga sama luasnya. Menakjubkan. Rasanya, Mora seperti sedang berada di ragunan. Terlalu banyak tumbuhan hijau dan tanaman hias.
Seorang wanita menghampiri dan menyambut kedatangan Mora. Sedikit berbincang pada kedua orangtua Mora, sesekali menatap Mora sambil tersenyum.
"Papa sama Bunda gak bisa anter kamu ke dalam. Hati-hati ya, nak. Bunda tunggu kamu dewasa. Jangan lupa jadi anak baik, Bunda sayang sama Mora."
Setelah mengatakan itu Bunda memeluknya dan mengusap kepalanya pelan. Mora hanya diam tak menanggapi. Badannya kaku. Darahnya berdesir. Matanya pun mulai memanas. Tidak, tidak, bukan waktu yang tepat untuk menangis.
Bunda melepas pelukannya, bergantian dengan Papa yang juga memeluk sambil menasihati. Setelah usai, Tama hanya menatapnya. Seperti bingung.
"Jangan kangen sama Kakak, ya. Dadah."
Mora melambaikan tangan kanannya dan tangan kiri membawa koper. Lalu, Mora berjalan meninggalkan area parkir bersama wanita tadi yang berdiri di sampingnya. Mungkin ia adalah salah satu guru disini.
"Alkamora. Nama kamu cukup itu?" tanyanya pada Mora.
Setelah lima detik diam, ia akhirnya menjawab, "Iya."
Wanita di sampingnya ini hanya menganggukkan kepalanya. Ia berhenti, otomatis Mora juga ikut berhenti.
Ia memanggil seseorang, dan menyuruhnya untuk mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKABENA
Teen FictionArgani Adiwilaga, Bena Bahuwirya, Alkamora. Mereka hanya tiga remaja yang tak sengaja bertemu, dan bersapa. Kisah klasik yang sering didengar, mereka mengalaminya. "Semua yang ada tak harus kita punya, selalu tinggal dan tetap di sisi lebih indah...