Sorry for typo(s)
Satu tempat yang disukai Jaemin di rumah adalah duduk di tepi kolam renang dengan menyeburkan kedua kaki ke dalamnya dan menikmati angin malam hari. Kedua orang tua sekaligus Jeno sudah tidur, ia diam-diam keluar dari kamar kemudian.
Malam hari memang menjadi waktu yang terbaik untuk overthinking. Ingatannya kembali pada momen di mana Donghyuck menanyakan asal nada yang dimainkan pada piano.
Alunan tersebut bukan berasal dari lagu manapun, Jaemin memang sudah mengingatnya sedari kecil dan tak berniat mempelajari nada lain.
"Jaemin?"
Lamunannya buyar ketika mendengar suara yang familiar, menoleh ke belakang dan menemukan sang kakak dengan ransel pada bahunya. Berjalan mendekat menghampiri Jaemin kemudian ikut bergabung duduk di sampingnya membelakangi kolam renang.
"Tidak bisa tidur?"
Walaupun setiap hari bersama Jeno, sosok yang paling mengerti keadaannya itu Jaehyun. Bersandar pada yang lebih tua itu sangat dibutuhkannya, mereka bisa memberikan kalimat yang menenangkan.
Dari kecil, sebelum Jeno melindunginya si sulung Jung yang selalu ada untuknya dulu. Bahkan sering kali menemaninya tidur saat malam hari ketika ia merasa ketakutan dan mengalami mimpi buruk. Takut merasa sendirian adalah trauma yang dialami oleh Jaemin.
"Iya, Hyung tumben pulang?"
Seulas senyum terukir di bibirnya sembari menganggukkan kepala, "Tiga hari ke depan, kuliah libur. Jadi, Hyung memutuskan untuk pulang," jawabnya.
Sang adik hanya bergumam dan tak melempar pertanyaan kembali, kening Jaehyun berkerut. Tak biasanya Jaemin diam setelah mereka tidak bertemu cukup lama, tangannya terangkat mengusap surai si bungsu dengan lembut.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam. Jaehyun memaklumi suasana hati adiknya tersebut. Sudah lama tak mendengar cerita dari Jaemin membuatnya juga penasaran.
"Nenek ya?"
Kepala Jaemin mendongak seraya menoleh padanya kemudian menggelengkan kepala. Meskipun jawabannya sebagian iya, tetapi bukan beliau yang cukup mengganggu perasaannya kali ini.
Dari raut wajah yang ditampilkan Jaemin, membuat si sulung semakin khawatir. Kedua kakinya terangkat untuk duduk bersila menghadap sang adik.
"Kau bisa bercerita padaku, Jaemin."
Dengan memberanikan diri, pemuda manis itu menatap sang kakak. Sesekali Jaemin menghela napas panjang untuk menetralkan degub jantungnya. Belasan tahun ia memendam dan sekarang menurut hatinya, Jaehyun adalah sosok yang tepat.
Jemari Jaemin mencengkeram tangan kanan sang kakak di sana seakan meminta kekuatan untuk bercerita dan Jaehyun membalasnya dengan sentuhan di bahu dengan tangan yang tak digenggam oleh adiknya.
"Aku berbohong pada kalian."
Pertama, Jaehyun terkejut mendengar kalimat tersebut. Namun, ia berhasil mempertahankan ekspresi wajahnya. Si sulung mencoba memperhatikan kata demi kata yang keluar dari bibir Jaemin. Keduanya saling menatap, terlihat sorot khawatir yang terpancar dari mata mereka.