Note:
Ketentuan sekolah dan agensi idol diatur menyesuailan alur cerita. Terima kasih.Sorry for typo(s)
Kediaman keluarga Jung pagi-pagi sekali sudah ribut oleh dua anak yang sedang mencari sepasang kaos kaki sekolah, belum lagi menjadwal buku-buku pelajaran. Pasalnya tadi malam, dua bungsu itu sibuk dengan game mereka sampai larut malam.
"Besok-besok jangan begadang makanya, Jeno dan Jaemin!" suara sang Ibu turut memarahi mereka.
Salah satu tangannya membawa sepasang kaos kaki baru untuk diberikan pada Jeno lalu beralih pada Jaemin yang sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas. Jemari wanita itu merapikan kerah almamater berwarna kuning di sana.
Tubuh si bungsu berbalik, memamerkan senyumannya, "Ibu yang terbaik! Malaikat kami, terima kasih!" kedua anak itu mendekat untuk memberikan ciuman pada masing-masing pipi wanita tersebut.
"Kami berangkat!" pamit mereka.
Sejak memasuki sekolah menengah atas, dua bungsu Jung tadi memilih untuk berangkat ke sekolah bersama naik bus. Jarak rumah untuk ke halte tidak terlalu jauh, walaupun sudah diberikan fasilitas mobil beserta sopir, mereka menolaknya dengan halus.
Berbekal earphone yang tersambung oleh ponsel, mereka menikmati perjalanan menuju ke sekolah seperti anak yang lainnya.
Sekitar melewati tiga halte, akhirnya duo bungsu itu telah sampai. School of Perfoming Arts Seoul atau lebih dikenal dengan SOPA menjadi tempat menimba ilmu mereka. Bukan hanya dari kalangan keluarga biasa, beberapa idol juga menjadi siswa di sana.
Masuk ke sekolah ini telah menjadi impian Jaemin, dari sana ia bisa belajar sedikit demi sedikit untuk mengejar impiannya. Berbeda dari Jeno, dia hanya mengikuti ke mana adiknya. Sesederhana itu untuk menjalani hidup.
Sepuluh menit sebelum bel masuk, para siswa dan siswi sudah bergegas memenuhi ruang kelas. Ruangan duo bungsu Jung berada di lantai dua, tetapi sebelum menaiki tangga, Jaemin memekik tiba-tiba membuat saudaranya terlonjak kaget, dilihatnya Jaemin yang sibuk membuka tasnya.
"Jenooo! Bukuku ketinggalan, hari ini kan dikumpulkan!"
"Kenapa bisa?!"
Tatapan mendelik dari Jaemin seakan menghakimi pertanyaan tak masuk akal tersebut, "Tadi kan buru-buru!" gerutunya kesal, "Aku tidak mau masuk kelas, bilang saja aku sakit. Oke?"
Tangan Jeno terulur menahan ransel adiknya yang akan berlari menjauh, "Aku ikut."
Manik Jaemin membulat, ia memutar dengan mulut menganga, "Kau gila!"
Reaksi tersebut membuat Jeno mengerutkan kening, tidak memahami kata yang terlontar oleh adiknya. Bukannya senang jika Jaemin ditemaninya nanti?
"Kan aku melindungimu."
Bola mata Jaemin berotasi ketika mendengar alasan tersebut, situasi yang seperti ini saja Jeno dengan santai mengatakan seperti itu. Padahal sudah jelas ini bukan kesalahan yang dilakukannya.
"Kau tetap masuk kelas, aku ke ruang kesehatan. Oke? Tolong, turuti perkataanku!" pinta Jaemin dengan tegas.
Mata bulan sabit itu menyipit, seakan menggali kebenaran dalam perkataan Jaemin di sana. Namun, tatapan memohon itu tidak bisa diabaikan oleh Jeno begitu saja. Anak itu menghela napas panjang.