Sorry for typo(s)
Mobil hitam itu melaju dengan cepat di kesunyian jalan, maniknya awas memperhatikan deretan rumah yang dilewati. Sudah setengah jam dari arah bandara menuju alamat tertulis di atas kertas yang sengaja ditempel pada kemudinya. Nomor duapuluh lima digumamkan terus menerus supaya tidak terlupakan.
Di sela pencarian tersebut, ponselnya berdering. Pria setengah baya itu menepikan mobil sewaannya sejenak dan merogoh benda pipih yang berada di saku celana.
Segera diangkatnya panggilan dari sang putra di rumah, "Ada apa, Jeno?"
"Ayah! Jaemin kabur!"
Maniknya membulat mendengar laporan tersebut, "Jangan bercanda, Jeno!"
"Mana ada aku bercanda tentang Jaemin, salahkan saja itu Nenek! Pasti dia berbicara yang tidak-tidak! Aku sudah menghubungi Jaehyun Hyung, Ibu menangis ini!"
Kepala Donghae bersandar pada kursinya dan memejamkan mata, sudah sejauh ini ia pergi. Tidak mungkin kembali tanpa menemukan apapun.
"Jeno, Ayah tidak bisa pulang hari ini. Hubungi saja Paman Shindong, dia bisa membantu kita."
"Memang Ayah ke mana?"
"Tanya Ibumu, dia tahu. Ayah yakin, Jaemin tidak akan pergi jauh."
Panggilan mereka berakhir dengan ia menghela napas panjang. Jemarinya memijat pelan pelipis tersebut, Donghae tidak bisa menyerah begitu saja. Alamat ini sulit sekali untuk didapatkan.
Setelah memasukkan kembali ponsel, Donghae melajukan mobilnya kembali. Masih awas untuk melihat nomor rumah yang ada. Sekitar lima menit perjalanan dimulai lagi tadi, ia menghentikan mobilnya kala melihat nomor rumah yang sama berada di depan.
Mobilnya bergerak untuk parkir di depan rumah yang terlihat mewah tersebut, Donghae keluar dengan perasaan gugup. Berjalan menuju ke gerbang dan menyadari bahwa pintu besar itu tidak terkunci.
Pekarangan yang luas menyambutnya, ia berjalan menuju ke pintu utama langsung. Tanpa menunggu lama, Donghae mulai memencet bel yang berada di samping pintu.
Beberapa saat ia menunggu, pintu tersebut akhirnya terbuka dan menampilkan sosok wanita tua yang tampak terpaku melihat kehadirannya.
Donghae menyunggingkan senyum sembari memberikan salam membungkuk pada beliau yang memakai seragam pelayan.
"Apa benar ini tempat tinggalnya Na Siwon?"
Pertanyaan yang terlontar tersebut membuat sang pelayan membulatkan mata, terlihat raut wajah ketakutan di sana. Seperti fakta tadi tidak boleh diketahui oleh siapapun.
Tangan Donghae terangkat menahan pintu tersebut untuk tertutup, "Tolong, ini penting."
"Penting atau tidak, saya telah dipesan untuk tidak menerima tamu. Siapapun itu."
"Sekalipun saya membawa kabar tentang anaknya?"
Kali ini, wajah wanita itu menampilkan ekspresi yang terkejut dengan mata membulat bahkan mulutnya terperangah mendengar apa yang telah diucapkan oleh Donghae di sana.
Kedua tangan pria tersebut terkatup di depan dada, memasang wajah sendu, "Saya mohon."
"Ta-tapi Tuan Siwon tidak ada di rumah."
Bibir bawah Donghae digigit setelah mendengar informasi tersebut, sudah bertahun-tahun ia mencari keberadaan sahabatnya. Namun, tidak selalu berhasil. Siwon memang benar-benar pandai dalam menutup diri.
"Yoona?"
Kepala wanita itu tertunduk seakan tidak mau menjawab pertanyaan tersebut, sesekali ia menoleh ke belakang dengan takut kemudian kembali menatap Donghae.
"Ny-nyona sedang tidak bisa diganggu."
Kedua tangan Donghae bertaut semakin erat di sana dengan tatapan memohon dan tiba-tiba bersimpuh di hadapan pelayan tersebut sampai membuat beliau membulatkan mata tak percaya.
"Saya mohon, jauh-jauh dari Seoul ke sini untuk menemui mereka. Bibi tahu permasalahan mereka, kan? Dan di sini saya datang untuk memberi sebuah informasi tentang salah satu dari anak Siwon dan Yoona yang hilang."
Sebelum menjawab, sang pelayan membantu Donghae untuk berdiri. Raut wajahnya masih menampilkan ekspresi ragu.
Namun, pada akhirnya beliau mempersilakan Donghae masuk. Langkah mereka pelan menuju ke anak tangga kemudian menaikinya, dari jarak yang cukup jauh, ia bisa melihat sebuah kamar dengan pintu terbuka.
Tubuh wanita tua itu masih menghalangi dan setelah ia memberi jalan, Donghae bisa melihat sosok wanita dengan rambut panjang yang tampak berantakan dari belakang sedang duduk di atas kursi roda menghadap ke jendela.
Saat memasuki kamar, Donghae melihat foto pernikahan Siwon dan Yoona di atas dinding ranjang tidur mereka. Sejenak, ia berdiri melihat dua bayi yang berada dalam satu frame dan di bawahnya dengan urutan usia mereka yang bertambah.
Pandangannya kembali ketika mendengar suara seseorang bernyanyi kemudian tertawa kecil, Donghae berjalan mendekati dan hanya berakhir di belakang kursi roda, walaupun hanya bisa melihat sisi wajah wanita itu dari samping.
Wanita yang dulu terkenal oleh kecantikan dan keramahannya, sekarang tampak memprihatinkan. Wajah itu pucat dengan lingkaran hitam pada sekitar mata karena lelahnya untuk menangis. Kedua tangan lentik itu memeluk dua baju, pandangan Yoona begitu kosong di sana.
Air matanya jatuh tanpa permisi, jemarinya segera menghapus kemudian menundukkan kepala. Maniknya menemukan sebuah foto yang tergeletak di atas lantai, Donghae mengambilnya secara perlahan dan melihat pemandangan yang membuat air pada mata jatuh semakin deras.
Mereka berempat tampak bahagia bersama, dengan wajah dua anak yang penuh dengan cream kue serta Siwon dan Yoona menyunggingkan senyum yang lebar.
Sudah berapa tahun ia tidak melihat kebahagiaan sahabatnya tersebut?
Dong
hae tidak tahu bagaimana bisa mereka kehilangan dua anak secara bersamaan? Dan takdir membawa salah satu anak itu pada dirinya.
"Mama sayang Echan... Mama sayang Nana..."
Manik Donghae kembali terpejam dan meneteskan air mata, tak sanggup untuk melihat keadaan Yoona di depannya. Ia berdiri dan keluar dari kamar tanpa menoleh pada sang pelayan.
Tangannya merogoh saku dan menekan nomor Siwon yang sudah ratusan kali tak diterima oleh sahabatnya tersebut.
"Hei, orang tua sialan! Angkat panggilan dariku! Jika tidak, kau akan menyesal seumur hidup!" sentaknya sembari menuruni tangga dan menghapus air mata yang jatuh.
—