Aku beralih memindahkan tablet ke atas meja, lalu pelan-pelan menggendong Xiao Wu, dan membawanya ke kamar yang ciri-cirinya tadi disebutkan oleh Wu.
Kutarik selimut untuk menutupi tubuhnya dari hawa dingin yang mencekam. Semoga kehangatan membawanya pada mimpi indah. Kuperhatikan sejenak wajahnya yang bulat sebulat matanya, entah mereka ini keturunan orang mana. Tapi, sekilas kedua beradik ini tidak mirip dengan orang-orang dari suku Han yang rata-rata bermata sipit. Meski kulitnya sama putih dengan mereka. Dada dan perutnya yang menjadi satu itu kembang-kempis. Nyenyak sekali anak kecil ini kalau tidur.
Aku berjalan keluar, lalu menoleh ke arahnya sebentar sebelum mematikan lampu. Namun, aku baru menyadarinya setelah mataku menelusuri seluruh penjuru ruangan. Aku benar-benar tidak percaya, tidak hanya kasurnya saja bermotif kartun Hachi, tetapi juga bantal guling, deretan boneka yang terpajang di meja belajar, tempelan stiker di lemari baju, wallpaper kamarnya, bahkan keset kaki yang aku injak sekarang bergambar kartun lebah madu.
Apa Wu produksi sendiri sampai dapat barang selengkap ini?
Tapi, bukan itu yang aku herankan sebenarnya. Yang menciptakan kembang api di dalam kepalaku itu adalah apa yang menjadi motif anak kecil ini begitu menyukai kartun Hachi?
Memang sih hal yang wajar, tapi entah kenapa Xiao Wu, bisa tahan menontonnya berjam-jam. Karena pusing memikirkannya, aku pun merebahkan diri ke atas sofa di depan tv.
"Akhirnya ...."
Aku bernafas lega setelah meregangkan badan seperti yang sering dilakukan kucing saat sebelum dan sesudah tidur. Aku memejamkan mata untuk sejenak. Mencoba menarik nafas dengan tenang. Mengaturnya. Menghapus semua keluh kesah yang ada di dalam jiwa. Mencari ketentraman batin. Menelusurinya.
Hari ini lumayan melelahkan, aku harap malam ini bisa tidur lebih awal. Saat aku memejamkan mata, sekonyong-konyong muncul dunia baru dalam pikiranku. Entahlah beberapa tahun belakangan ini aku memang sulit sekali tidur. Bukan karena tidur di sofa, aku akui kenapa Xiao Wu gampang sekali tertidur di sofa ini karena ini bukan sofa murahan seperti baju yang kupakai sekarang.
Aku melirik ke arah jam dinding di atas akuarium ikan. Baru pukul 9 malam, mana mungkin aku bisa tidur secepat ini. Aku menghela berat. Tetapi, aku ingin bangun lebih cepat untuk menyiapkan sarapan pagi. Aku coba mematikan lampu tengah, setelah mematikan lampu-lampu lainnya. Cukup gelap hanya lampu koridor menuju kamar mandi yang aku biarkan tetap menyala.
Aku kembali berbaring dan mencoba memejamkan mata untuk sekali lagi. Dingin. Seketika bulu kudukku bediri kaku. Wu tadi sempat bilang selimut ada di bawah meja dekat sofa. Aku coba menggerayah dalam gelap. Kutemukan di rak tepat di bawah meja.
Sekarang, jauh lebih hangat. Aku siap mengejar mimpi. Tapi, lagi-lagi bukan mimpi yang menghampiri, tapi dunia baru dalam pikiranku itu yang muncul. Gambaran yang muncul tiba-tiba ini lah yang memang terus terbawa meski sudah kulupakan dengan segala usaha. Tak bisa kupungkiri jika ini menjadi alasan terbesar kenapa aku sulit sekali untuk tidur. Aku hanya bisa tidur saat benar-benar kelelahan hingga ketiduran.
Frustasi sebenarnya. Tak ada pilihan, aku mengeluarkan botol kecil berwarna putih.
"Satu pil kayaknya udah cukup." Aku menelannya sekaligus meneguk habis air putih yang ada di dalam gelas. Kemudian kembali berbaring.
TOK TOK TOK!
Bunyi orang mengetuk pintu itu benar-benar mengagetkanku. Baru saja aku ingin tidur.
"Tapi, siapa malam-malam begini?" pikirku.
Ketukan pintu semakin nyaring di telingaku. Bukan seperti mengetuk pintu, tapi membobol. Aku heran dengan orang-orang seperti ini, tidak tau etika. Malam-malam menggedor rumah orang sembarangan.
"Deng yi xia o! (Tunggu bentar!)" teriakku yang lebih dulu pergi menyalakan semua lampu.
Orang itu masih saja menggedor pintu, apa suaraku kurang keras? Sayangnya aku tak menemukan toa di ruangan ini.
"Lai le lai le! (Iya ini dateng!)" keluhku lalu mencoba membuka pintu. Tapi sebelum itu, kepalaku berisikan banyak sekali pertanyaan. Bagaimana kalau yang mengetuk ini sanak-saudaranya? Waduh, apa jadinya saat mereka mengetahui orang asing sepertiku ada di rumah mereka.
Namun, kalau kubiarkan, bisa-bisa mereka membobol pintu ini. Bagaimana tidak, semua itu karena ketukan pintunya keras sekali. Aku takut Xiao Wu yang sulit dibangunkan saja bisa terbangun karenanya. Segera kubuka pintu itu.
Aku kaget saat mendapati astoronot mendarat di sini. Apa aku tinggal dibulan? Pasalnya, lima orang di hadapanku berseragam seperti astronot serba putih dengan penutup kepala besar meski tanpa tabung oksigen. Salah satu dari mereka menunjukkan foto paparazi diriku dan Wu jalan berdua. Terus kenapa? Apakah dia kekasihnya Wu?
"Eh-eh!"
Mereka menerabas masuk menuju kamar Wu, tetapi, suara berisik yang mereka buat tidak juga membangunkan Wu dari tidurnya. Kemudian, aku semakin tak mengerti saat Wu dan aku ingin dibawa mereka pergi entah kemana. Aku pun mencoba memberontak, sampai membuat salah satu dari mereka jatuh menggelindingi tangga.
Aku coba menahan mereka yang membawa Wu pergi. Aku beradu pukul dengan mereka. Karena aku bukan Jackie Chan. Aku pun tumbang karena kalah jumlah. Mereka membawa Wu yang tak sadarkan diri itu masuk ke dalam lift.
Dalam kondisi merangkak, aku masih saja berjuang menahan lift itu dengan tanganku. Tanpa takut tanganku terjepit. Salah satu dari mereka menyepak pelipisku. Lalu, lift itu turun.
Entah mungkin ini termasuk kekuatan para penggemar Jackie Chan. Aku bisa bangkit lagi, lalu menuruni tangga meski dengan keadaan yang masih linglung, langkah yang masih terhuyung-huyung. Tidak masuk akal memang, dari lantai paling atas aku masih sempat mengejar mereka yang baru saja keluar dari lift.
Mereka membawa Wu yang masih tidak sadarkan diri menuju ambulan yang sudah menunggu mereka. Aku berjuang mengejarnya. Namun, Wu sudah dibawa masuk ke dalam mobil. Mobil itu melaju cepat meninggalkanku. Aku sempat menyesal membukakan pintu tadi.
Aku bersimpuh di atas tanah sambil memegangi perutku yang sakit. Tiba-tiba, beras satu karung jatuh dari langit hendak menimpaku.
***
Aku tersentak bangun dari mimpi buruk itu. Aku duduk bersandar sejenak sembari mengolah nafasku. Kusadari penuh peluh di wajahku. Aku pun melihat cahaya terang lolos dari sela kedua tirai. Sudah pagi ternyata. Entah kalau aku mengkhawatirkan esok hari bisa-bisa sampai terbawa mimpi. Cuma karena aku harus membuat sarapan pagi yang sampai membuatku cemas, apa sebegitu perlunya aku mimpi ketimpa karung beras?
Benar-benar mimpi yang menggelisahkan. Aku melirik ke arah toples putih kecil itu. Ini pasti karena efek obat, setelah awalnya membuat tubuh lemas, kemudian jatuh terlelap, lalu diakhiri dengan mimpi buruk. Sekarang, tubuhku masih terasa lemas.
Tok-tok-tok!
Bersambung ....
oOo
Hiraeth(n)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth(n)
General Fiction[ Karya ini aku persembahkan untuk adik perempuanku yang sudah berpulang ] Alih-alih, cerita berawal saat aku memenuhi janji seorang perempuan bermarga Wu itu untuk mendatangi kota Wuhan--kota tempat tinggalnya. Tidak kusangka niat liburanku harus u...