"Cheng Fei Long!" Terdengar teriakan mengagetkanku.
Aku menoleh kanan dan kiri mencari suara perempuan yang memanggilku di keramaian. Terlalu ramai dan saking padatnya sampai-sampai aku tak bisa memastikan darimana suara itu berasal. Aku pun menyeret koper kecil berwarna hitam meninggalkan stasiun kereta api kota Wuhan.
Seseorang menyentuh bahuku dari belakang. Sontak membuatku menoleh. Sudah kuduga pasti suaranya. Teman satu kampus sewaktu aku dulu menempuh pendidikan diploma. Kulihat dirinya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Makin cantik saja.
"Ganma weixiao ne? (Kenapa senyum-senyum?)" tanyanya padaku.
"Wo shuo le, bu yong jie wo, bu ting hua! (Udah kubilang nggak usah jemput aku, nggak denger omongan!)"
"Aih, kau kira aku temen macam apa? Lagi pula ini kan pertama kalinya kamu main ke kotaku," serunya dengan mencoba menyeret alih koperku, tetapi aku mentah-mentah menolaknya. Dia mau membuatku jadi pria macam apa.
"Kan aku bisa langsung ke alamat yang kamu kirim, kamu nggak perlu repot begini."
"Kok sekarang kamu berisik ya," sindirnya dengan senyum menyungging.
Aku hanya tertawa menghadapi sorot matanya. Dari sekian banyak teman perempuan berdarah Tionghoa yang aku kenal, gadis ini yang paling cantik. Jujur saja, aku sempat jatuh hati saat pertama kali berkenalan dengannya sewaktu mengikuti Kompetisi Nasional dua tiga tahun lalu.
"Kalo gitu, SELAMAT DATANG DI KOTA WUHAN!"
Sambutan itu membuatku menatap ke seluruh penjuru. Kulihat deretan gedung tinggi dibangun sejajar rapi di bawah payungan biru. Kota yang dikenal dengan destinasi wisata antiknya ini benar-benar menyegarkan mataku. Akhirnya aku menginjakkan kaki juga di kota yang sudah mengantongi predikat kota bersejarah Tiongkok sejak tahun 1986.
Hari itu cuaca dingin sekali. Wajar saja yang namanya musim dingin pasti dingin. Hanya saja anehnya sudah beberapa minggu sejak awal musim dingin datang, aku belum melihat salju turun di tahun ini. Berita tentang pemanasan global yang kubaca di koran milik penjaga asrama kemarin membuat aku jadi kepikiran. Ya, meskipun itu koran minggu lalu.
Aku menatap deretan skycraper di sekitar stasiun. Aku termenung melihat gedung tinggi berlapis kaca yang akhirnya membuatku paham. Mungkin saja reflektor pantulan sinar matahari dari gedung kaca itu yang jadi penyebab global warming ini semakin memprihatinkan. Dan yang menjadi alasan aku tidak kunjung melihat salju tahun ini.
"Shao deng yixia! (Tunggu bentar!)" kataku, lalu meninggalkan ia sebentar.
Aku menuju Coffee Shop yang berada di pengkolan jalan. Tak jauh dari tempatku berdiri. Hanya berjarak beberapa langkah kaki. Aku memesan dua gelas Coffe Latte no sugar. Aku menoleh ke arah gadis dengan rambut terurai itu berdiri bebas di sisi lain pintu masuk stasiun yang sebagian masih dalam tahap renovasi. Tak di Nanjing, tak disini ada saja pembangunan dan perbaikan. Apa memang begini bentuk negara maju?
Pelayan itu memberikan pesananku. Aku membawa dua gelas kopi hangat itu mengarah padanya. Dalam benakku masih ingat gadis itu tidak suka menambahi gula dalam kopinya.
Sekitar masih berjarak beberapa meter dari tempatnya, perasaanku tiba-tiba tidak enak. Entah six sense-ku seakan memberi tanda-tanda, tapi apa? Mataku mulai berkeliaran mencari penyebab ketidak-enakan ini. Hingga mataku menangkap sesuatu bangunan renovasi yang tadi sempat aku cermati. Pikiranku tiba-tiba diharu-biru. Apa lagi saat itu tepat berada di atas perempuan yang tengah duduk di atas koperku.
Di pikiranku cuma satu yaitu berlari sekuat tenaga entah bagaimanapun caranya. Setiap langkah terasa remah-remah di dada saat melihat bebesian itu hendak runtuh menimpanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth(n)
Fiction générale[ Karya ini aku persembahkan untuk adik perempuanku yang sudah berpulang ] Alih-alih, cerita berawal saat aku memenuhi janji seorang perempuan bermarga Wu itu untuk mendatangi kota Wuhan--kota tempat tinggalnya. Tidak kusangka niat liburanku harus u...