Senyum [1]

6 1 0
                                    

BRAK!!!

Aku tersentak oleh suara berisik di luar sana. Ah! Mimpi buruk itu lagi. Jantungku serasa ingin copot dibuatnya. Mereka bilang tidur itu akan membawa kita pada bunga tidur. Tapi, bungaku bunga mawar. Berduri.

Orang bisa bermimpi. Mimpi indah bahkan mimpi buruk sekalipun. Anehnya, mimpi indah itu kebanyakan hanya kebohongan semata, sementara mimpi buruk itu paling memungkinkan adalah nyata.

Tapi kadang aku ragu, kalo semua mimpi itu nyata. Lantas, apa bisa disebut mimpi. Di dunia nyata, kecuali birat luka dan rasa sakit, sepertinya mimpiku dibanding dengan kenyataan terasa lebih nyata.

Leherku rasanya sakit sekali gara-gara tertidur di koridor seperti ini. Mungkin salah urat. Aku gerakkan leher hingga berbunyi tiga kali. Aku mencoba bangun, tapi tunggu dulu! Ada yang aneh.

Siapa yang memakaikanku selimut ini?

Dan ... bantal ini milik ...?

Aku tersenyum setelah melihat boneka bantal berbentuk lebah. Sepertinya aku tak perlu terlalu mengkhawatirkan bocah kecil itu. Yang harus aku pikirkan adalah kakiku sudah mengakar karena terbaring di lantai yang dingin ini sejak semalam.

Aku bangkit, kemudian melangkah menuju jendela di ruang tv. Aku penasaran suara keras apa yang mengganggu mimpi burukku.

Setelah kulihat ternyata sebuah tabrakan mobil tepat di jalan depan gedung dimana aku sekarang ini. Tabrakan itu antara mobil truk dan mobil pick-up. Namun, keadaan kota benar-benar berubah tidak seperti pertama kali aku datang. Riuh.

Aku melirik ke arah jam tanganku. Meski sudah pukul 7 di sini masih saja gelap. Karena waktu malam di musim lebih panjang. Aku melangkah menuju akurium ikan tepat satu meter di sebelah kiri televisi.

Ikan-ikan koi itu tampak bernafas. Kuperhatikan mulut mereka yang besar, kalau saja manusia punya mulut sebesar itu. Ada dua hal buruk yang bisa aku pastikan. Pertama, boros oksigen. Kedua, aku pasti akan meletakkan barang-barangku pada tempatnya, terutama perlengkapan sekolah, supaya aku tidak mengeluh pada ibu untuk bantu mencari. Karena jika mengeluh, aku tak bisa membayangkan ocehan ibuku di setiap pagi akan terasa seperti konser Dewa 19.

Seketika aku menaburkan pelet ke dalam akuarium, ikan-ikan itu langsung berasak-asakan. Aku jadi khawatir, apa mulut besar itu tidak akan membuat mereka tersendat?

Fajar pun menyingsing, aku sibuk bermain dengan ikan-ikan. Entah kenapa sejak kecil aku memang suka sekali memelihara hewan. Tapi, ibuku tak pernah mengizinkanku, ia takut malah akan membunuh mereka.

Pernah suatu ketika dulu karena sangking inginnya memelihara ikan. Sambil membawa serokan air milik ayah, dan ember mencuci milik ibu, aku pergi mencari ikan-ikan kecil di parit komplek sebelah. Aku bisa tau banyak ikan kepala timah yang ekornya berwarna-warni karena sering bermain bola di lapangan sana.

Aku pulang membawa beberapa ikan yang berhasil aku tangkap, entah di antaranya ada yang lebih dulu mati di jalan. Kebetulan ayah dan ibuku sedang bemesraan di pelataran, tiba-tiba mereka menemukanku dalam keadaan sangat kacau seperti habis ikut Kapten Patimura pergi berperang.

Waktu itu aku masih sangat kecil, belum 10 tahun kalau tidak salah. Aku hanya tau bersenang-senang. Bermain lumpur, bakar-bakaran, bahkan bermain di selokan untuk menangkap ikan.

Setelah hari itu, ayah membawaku ke toko ikan. Pada pandangan pertama seperti cinta aku langsung menunjuk ikan koi. Aku pikir aku menyukainya karena ikan ini mirip seseorang.

Akhirnya rumahku dihiasi akuarium ikan koi, aku sengaja memilih warna yang beda-beda, supaya aku ingat nama-nama mereka. Semenjak hari itu, tiap hari ibuku berteriak mengingatkanku untuk memberi makan mereka, sampai aku SMA ia masih mengingatkanku.

Hiraeth(n)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang