Aku tak akan pernah bisa mengerti apa yang ia rasa. Mungkin sekarang orang tuaku juga sudah pergi. Tapi, aku masih sempat merasakan hangatnya perut ibu saat didekapnya. Aku masih sempat merasakan tenangnya dilindungi ayah saat dunia berani mengucilkanku. Kami berbeda. Karena aku merasa kehilangan, sedangkan ia merasa tidak pernah memiliki. Namun, gadis kecil ini masih bisa tersenyum, tertawa, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Xiao Wu lanjut nonton ya, nanti kita main lagi kayak tadi pagi."
"Uhm!" jawabnya semangat.
Aku melangkah menuju ke kamar Wu. Ada hal yang ingin kutanyakan padanya. Saat aku ingin membuka pintu, tiba-tiba aku mendengar suara orang menangis datang dari kamar Wu. Aku mengurungkan niatku untuk mencarinya.
Aku pun duduk bersandar di pintu kamarnya. Menunggu hingga tangisnya reda. Aku paling tidak menyukai suasana seperti ini. Situasi yang membuatku bingung harus bertindak seperti apa.
Selama ini aku selalu berpikir, hanya para lelaki saja yang tak pernah ingin menunjukkan air matanya. Selalu berlagak kuat karena tak ingin dipandang lemah. Namun, hari ini aku paham, perempuan bisa melakukan demikian, bukan ingin sok kuat, melainkan menjadi lemah hanya akan membuat mereka yang bergantung padanya semakin rengsa.
Hingga petang datang, gadis di dalam kamar ini tak menghentikan tangisnya walau untuk sececah. Aku yakin yang sedang menonton juga sedang membanjiri sofa untuk tidurku nanti malam.
***
"Kak, bangun! Lihat!" ujar seorang laki-laki paruh baya bersuara berat.
Aku mencoba memelekkan kesadaranku, aku ingat sekarang aku sedang berada di koridor rumah sakit. Pria berambut tipis itu menunjuk sesuatu di balik jendela transparan di hadapannya. Aku lekas berdiri dan melihat apa yang ada di sana.
Seorang suster menggendong bayi yang baru saja lahir, kulitnya merah mulus merona, suaranya menangis sangatlah kencang. Bayi itu diserahkan kepada wanita tua yang sedang terbaring di atas kasur.
Aku menoleh ke arah pria tua berjenggot tipis, ia tersenyum meneteskan air mata, lalu berlarian masuk ke dalam ruangan. Sementara, aku membalikkan badan, lalu mencoba menampar pipiku beberapa kali, aku yakin ini bukanlah mimpi. Aku mencubit pahaku sekuat-kuatnya.
***
"AW!"
Aku terbangun saat pahaku dicubit oleh seseorang. Aku mendapati Xiao Wu duduk jongkok di hadapanku. Kecil-kecil cubitannya lumayan sakit juga.
"Shushu! Udah bangun?" Ia bertanya, tapi terasa seperti sedang mendesakku.
Aku melihat seluruh ruangan gelap sekali. Sudah berapa jam aku ketiduran.
"Shushu, Xiao Wu takut," ungkapnya.
Ia tidak main-main, aku merasakannya saat tangan kecil miliknya mencengkeram celanaku begitu erat. Aku baru tau kalau gadis kecil ini ternyata takut gelap juga. Aku bangun, kuperhatikan ia sama sekali tidak melepas cengkeraman tangannya.
Aku menggerayah kantung celana hingga kutemukan ponselku, kucoba nyalakan. Sial! Baterainya habis. Apa boleh buat. Salah satu tanganku menggenggam tangan Xiao Wu dan satunya lagi aku gunakan untuk meraba jalan.
"Xiao Wu, ini pasti ulah kekasihnya monster putih, yaitu monster hitam, ia kayaknya datang untuk balas dendam."
"Shushu," tuturnya lagi.
Aku menjongkok, lalu menghadapnya. "Xiao Wu nggak perlu takut, apapun yang terjadi Shushu selalu ada buat ngelindungi Xiao Wu."
Aku meraba dinding. Aku tidak ingat lagi lokasi tombol lampu di koridor ini, yang aku ingat cuman di pintu keluar, dan letak tombol lampu di ruang tv. Kami melangkah secara perlahan ke ruang tv, untung saja lampu akuarium ikan itu tidak ikutan mati seperti layar tv. Aku mempercepat langkah kakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth(n)
General Fiction[ Karya ini aku persembahkan untuk adik perempuanku yang sudah berpulang ] Alih-alih, cerita berawal saat aku memenuhi janji seorang perempuan bermarga Wu itu untuk mendatangi kota Wuhan--kota tempat tinggalnya. Tidak kusangka niat liburanku harus u...