Nyonya Hong melemparkan tatapan kosong ke arah lantai marmer yang mengilat. Ucapan Jisoo tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. Kalau pemuda tampan itu memang tidak setuju dengan perjodohan ini dan bahkan tidak bisa mencintai Yena, untuk apa ia menerimanya? Bagi Nyonya Hong yang merasa telah melukai perasaan kedua anaknya, kebahagiaan mereka adalah hal yang utama. Dia tidak akan memaksa Jisoo jika putra angkatnya itu tidak mau.
Sedang jika dilihat dari raut khawatir Jisoo terhadap Jeonghan tadi, bagaimana ia mencari pemuda itu bahkan di hari pernikahannya, Nyonya Hong cukup paham bahwa yang Jisoo cintai dan sayangi adalah Jeonghan dan tentu saja rasa sayang itu berlebihan jika Jisoo menganggap Jeonghan sebagai adik. Nyonya Hong lalu melangkah ke arah ranjang dimana Jeonghan terbaring lemah di atasnya. Ia lalu meraih tangan Jeonghan dan menempelkannya pada pipinya sendiri, air matanya jatuh bersamaan dengan senyum miris di wajahnya.
Bagaimana dengan Jeonghan? Apa pemuda itu mengerti perasaan Jisoo? Atau pemuda itu memiliki perasaan yang sama dengan Jisoo? Banyak pertanyaan mengenai kedua anak angkatnya yang berputar di otak tuanya. Tapi yang terus mengganggunya adalah wajah Jeonghan yang begitu pucat, kenapa pemuda itu harus mengalami kecelakaan di pernikahan Jisoo? Apakah wajah seperti inilah yang Jeonghan tunjukkan apabila ia sakit? Selama 9 tahun, ia tidak pernah mendengar bahwa Jeonghan sakit. Apa Jeonghan menyembunyikannya?
"Maafkan Eomma..."
Lirih dan parau. Begitulah suara yang keluar dari belah bibir wanita itu, tak kuasa menahan tangisnya ketika mengingat betapa buruknya dirinya selama 9 tahun terakhir. "Eomma minta maaf atas perlakuan buruk Eomma padamu...jadi Eomma mohon, bangun, sayang." Ujarnya dan tangis Nyonya Hong pecah, meremat kuat tangan Jeonghan dalam genggamannya. Rasa-rasa Jisoo akan ikut menangis jika Nyonya Hong terus meraung di samping Jeonghan. Ia pun mendekat dan menggapai bahu wanita itu, "Jeonghan pasti bangun, Ma."
"Sekarang Eomma istirahat di rumah, hari ini pasti sangat melelahkan bagi Eomma." Ujar Jisoo dan Nyonya Hong menggeleng, "Eomma bersenang-senang selama 9 tahun di atas kesedihannya, sekaranag Eomma tidak dapat istirahat di atas perjuangannya." Rintihnya, menolak untuk pulang. Namun setelah dibujuk oleh semua pihak, akhirnya wanita berusia di awal 50 an itu memutuskan untuk pulang bersama Tuan Hong. Dan setelahnya semua orang ikut pulang, meninggalkan Jisoo dan Seungcheol di ruangan itu.
Seungcheol menoleh pada Jisoo yang kini duduk di samping ranjang Jeonghan, menatap dalam diam wajah damai pemuda manis itu. Seungcheol menghela napas, "kau juga pulanglah ke rumahmu." Ujarnya dan dibalas gelengan kepala oleh pemuda kelahiran Desember itu "aku tidak akan meninggalkannya lagi." Mendengar itu Seungcheol hanya dapat menggeleng-geleng, "setidaknya mandi dan ganti bajumu dulu. "
"Lagipula bukankah ini malam pertama kalian? Kau tidak boleh meninggalkannya."
"Aku tidak berniat melakukannya." Ingin sekali Seungcheol memukul kepala pemuda di sampingnya, "kau akan menyakiti perasaannya." Sahut Seungcheol dan ia tak mendapat balasan dari Jisoo. Sekali lagi, Seungcheol menghela napas dan menepuk bahu Jisoo, "jika kau tidak berniat melakukannya, setidaknya izin kepadanya bahwa kau akan menjaga Jeonghan. Itu tidak akan terlalu melukai perasaannya. Jangan lupa mandi dan ganti baju."
"Aku akan menjaga Jeonghan hingga kau kembali."
Jisoo menoleh pada Seungcheol. Astaga, dari wajahnya saja Seungcheol tahu bahwa Jisoo amat teramat kelelahan. Pemuda pemilik senyum madu itu hanya mengangguk paham dan bangkit dari duduknya. Lalu beranjak pergi seraya berucap, "terima kasih, aku titip Jeonghan sebentar padamu." Seungcheol mengangguk paham dan menatap Jisoo di ambang pintu, "mungkin kau juga harus beristirahat sebentar, aku janji aku akan disini sampai kau datang."
○
Perlahan pemuda itu membuka matanya dan ia dapati dirinya sedang berada di sebuah halaman yang luas. Ah, Jeonghan tahu halaman ini adalah halaman belakang panti asuhan mereka. Jeonghan menoleh kesana kemari dan menemukan sosok anak laki-laki di dekatnya, pemuda itu lalu ikut menatap penampilannya sendiri. Tapi ia sama sekali tidak terkejut ketika menyadari bahwa kini tubuhnya kembali kecil berumur 8 tahun. Jeonghan kembali menatap anak laki-laki yang sedang sibuk menggambar itu, "Jisoo."
Yang dipanggil menoleh dan menatapnya bingung, lalu melirik kertas di tangan Jeonghan sebelum kembali menatap Jeonghan, "ada apa? Kau bingung ingin menggambar apa?" tanya anak laki-laki itu, ia bangkit merubah posisinya menjadi duduk di samping lelaki kecil itu. Jeonghan menggeleng, ia meletakkan pensilnya di atas kertas di bawahnya. Jisoo kecil mengusap kepala Jeonghan, "kenapa? Apa sesuatu mengganggumu?"
Jeonghan mengangguk, "ketika kau besar nanti, kau akan menikahi wanita yang hebat." Ujar Jeonghan dan dapat ia lihat Jisoo tersenyum senang ketika mendengarnya, "benarkah? Siapa?" Jeonghan terus menatap Jisoo dalam, rasanya ia tidak ingin kembali dan terus merasakan perasaan ini selamanya. Ia ingin seperti ini bersama Jisoo selamanya. "Namanya Yena, Kim Yena."
"Yena?"
Jisoo bergumam dan Jeonghan mengangguk membenarkan. Jisoo lalu tersenyum sambil menggeleng, "aku tidak mau. Aku akan bersamamu sampai tua. Kau juga akan menjadi wanita hebat, Jeonghan. Aku akan menikah denganmu ketika sudah besar." Ucapnya sembari tersenyum lebar, sontak membuat Jeonghan ikut tersenyum. Namun senyuman Jisoo luntur ketika melihat lelaki di hadapannya menangis, "oh? Kau kenapa, Jeonghan? Jangan menangis, ibu dan ayahmu akan datang sebentar lagi."
"Hiks, Ibu dan Ayah? Mereka akan datang?" tanya Jeonghan pelan disela tangisnya. Jisoo mengangguk kuat, namun tak menyinggungkan senyuman di wajah imutnya. "ibu dan ayahmu akan datang menjemputmu." Ujarnya pelan, lalu ia menunduk dalam, "Jeonghan, jangan pergi. Kalau kau pergi, aku nanti bermain dengan siapa. Ya? Jangan pergi, ya?" Jeonghan menggeleng sambil tersenyum, "Jisoo, dengar. Meski kau bersama Yena sekali pun nantinya, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu di belakangmu agar kau bisa kembali padaku sewaktu-waktu. Mengerti?"
"Jeonghan!"
Jeonghan menoleh dan matanya membulat terkejut ketika menemukan kedua orangtuanya. "Eung? Ibu? Ayah?" lelaki manis itu berdiri dan berjalan perlahan ke arah kedua orangtuanya berdiri. Air matanya turun melewati pipi meronanya. Dia rindu? Tentu saja. Sudah tujuh belas tahun lelaki itu tidak bertemu mereka, ingin sekali ia berlari dan memeluk mereka dengan erat. Namun tangannya ditahan oleh Jisoo yang menangis di belakangnya, "kau mau kemana?"
"Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku."
Air mata Jeonghan kembali turun, dadanya bergemuruh ketika melihat Jisoo menangis di belakangnya. Anak laki-laki itu membutuhkan dirinya di sisinya, anak laki-laki itu akan kecewa dan bersedih jika ia pergi. Jeonghan menoleh lagi pada kedua orangtuanya yang berdiri cukup jauh darinya, tapi Jeonghan merindukan mereka dan Jeonghan rasa inilah saatnya ia kembali berkumpul dengan mereka.
○
"Tidak, Jeonghan. Aku mohon bertahanlah."
Jisoo mengusap dahi pemuda itu dan menggenggam tangan Jeonghan erat, menahan gejolak panik ketika tubuh Jeonghan tiba-tiba berguncang hebat. Seungcheol kini sedang memanggil para petugas medis, dan Jisoo tidak bisa melakukan apapun selain menenangkan perasaannya sendiri. Air mata sudah mengaliri wajahnya sedari tadi dan ia menatap wajah Jeonghan dengan harap harap cemas.
"Kau tidak boleh seperti ini. Kumohon, kau tidak akan meninggalkanku seperti ini, kan?"
To Be Continued
○
Aku berpikir lagi, ini harus ku happy endingkan atau sad endingkan?
Aku gak mau buat Jihan Angst mulu, tapi emang feel chemistry yang mereka kasih itu rada angst. Gimana sih?
Pokoknya makasih deh buat kalian ♥
Friday, 12 June 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Our Promise [JIHAN]
Romance[COMPLETE] Kau adalah segalanya untukku. Apapun yang kau inginkan adalah kewajiban bagiku untuk memenuhinya. Untuk senyummu, untuk tawamu, untuk dirimu, apapun akan kulakukan. Untuk kebahagiaanmu, aku rela menjual kebahagiaanku. WARNING! BXB!