HONG JISOO (Yoon Jeonghan)

893 90 2
                                    

Aku terpaku di tempatku berdiri saat ini. Tidak tahu ingin melakukan apa selain menatap Jisoo dan Ayah Mama di sisi lainku. "Kumohon, Jeonghan. Aku tidak bisa apa-apa kalau kau tidak ada. Jangan pergi, ya? Aku janji aku akan selalu di sisimu." Aku menarik tanganku cepat, sontak membuat Jisoo tertegun dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Apa itu? Kenapa dadaku bergemuruh ketika Jisoo berjanji seperti itu? Kenapa aku tidak menyukai kata-kata yang keluar dari belah bibirnya?

Aku menggeleng, dia tidak bisa menepati janji itu jika tidak ditakdirkan, sedang takdir kita hanya Tuhan yang tahu. Perlahan aku berjalan menjauhinya dan dia hanya menangis tanpa mengikuti langkahku. Aku pun berlari ke arah Mama dan Ayah dan mereka segera menyambutku dengan pelukan hangat. Tak terasa, air mataku sudah mengalir deras. Karena perasaan sedih dan haru yang bercampur. Aku sedikit menoleh dan menemukan Jisoo yang perlahan menghilang dari pandanganku.

Jisoo

Jisoo

Jisoo

Nama itu terus terngiang dan aku bahkan tak sadar bahwa Ayah dan Mama kini duduk di kedua sisiku sambil berteriak histeris. Mataku melebar ketika baru kusadari kami sekarang berada di rollercoaster, begitu menyadarinya aku bahkan ikut berteriak histeris diselingi tawa. Jadi saat ini adalah waktu dimana aku harus menghabiskan waktu bersama mereka? Sebelum aku mati mungkin. Aku tertawa bersama mereka, memeluk leher Ayah dan menggelayuti lengan Mama dengan permen kapas di tangan lainnya. Aku sama sekali tidak lelah meski kami sudah berkeliling dan menaiki bermacam-macam wahana.

"Jeonghanie?"

Aku segera menoleh ke arah Mama yang mencebik kesal ke arahku, "astaga, kau melamun lagi." Ujarnya sembari memutar bola matanya malas, sontak membuatku terkekeh. Mama benar-benar lucu bagiku, ia selalu menciptakan kesan sahabat di setiap tingkahnya kepadaku. Mama melirikku dan ikut terkekeh sembari mengusap kepalaku lembut, "kau sudah besar sekarang, berapa umurmu?"

"Umurku—"

Aku kembali memperhatikan tubuhku sendiri, lantas menatap Mama yang tersenyum. "23. Umurku 23 tahun." Jawabku. "Astaga, 17 tahun kami meninggalkanmu. Maafkan kami ya, Hanie." Ujar Mama dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum, "itu bukan salah kalian. Aku tidak bisa bersyukur atas kematian kalian tapi karena itu, aku bisa seperti sekarang. Apa Ayah Mama tahu? Aku selalu menahan tangisku karena aku takut kalian melihatku dari sana."

"Karena itu juga, aku bisa bertemu dengan Jisoo dan akhirnya diangkat keluarga yang baik. Ini takdir, Bu dan semua yang takdir telah ditetapkan oleh Tuhan adalah hal yang baik. Luka bukanlah hal yang akan membuat kita sengsara jika kita belajar dari itu." Imbuhku. Kulihat senyum Mama semakin lebar dan kurasa kepalaku diusap oleh Ayah, "astaga, kau benar-benar sudah dewasa, Nak. Kau pasti banyak belajar di saat kami tidak ada. Kau tahu? Kami sangat bangga."

Aku tersenyum senang, bahagia rasanya ketika kutahu bahwa aku telah berhasil membuat mereka bangga. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba menggangguku. Selain mereka, bukankah aku juga harus membanggakan Ibu, Eomma, dan juga Appa? Bukankah aku tidak boleh berhenti disini? "Kalau begitu, apa kau merasa bahwa hubunganmu dan Jisoo merupakan takdir yang baik?" Tanya Mama dan aku mengangguk kuat, "tentu saja, tidak ada yang namanya takdir buruk."

Jisoo

Jisoo

Jisoo

Nama itu sudah mengganggu pikiranku sejak belasan tahun yang lalu. Sejak ia datang dengan senyum madunya, tentu lebih menarik perhatianku daripada anak-anak yang datang sembari menangis. Penyebutan namanya mudah dan aku selalu memanggil namanya bahkan ketika ia berada di hadapanku. Aku menyukai senyumannya yang teduh tapi menghangatkan, aku menyukai pelukannya yang hangat, aku menyukai perangainya yang menghangatkan, dan aku menyukai namanya yang lembut, aku menyukai semua yang ada pada dirinya.

Matahari kini sempurna tenggelam dan kami sudah berada di atas bukit, menunggu kembang api meledak di langit gelap. Sejauh mata memandang, yang kutemukan hanyalah pasangan-pasangan yang akan mengakhiri harinya disini. Mama dan Ayah bahkan tak terlihat di keramaian ini, tapi aku tak peduli.

Aneh

Aku pikir ini belum 12 jam, tapi aku benar-benar penasaran apa yang dilakukan lelaki itu di panti asuhan. Menangis? Aku tertawa kecil, bagaimana mungkin? Pemuda itu mungkin sedih, tapi ia tidak akan menangis. Dia bukan Jisoo berumur 8 tahun lagi, dia kini lebih dewasa dariku. Ketika mendapatkan masalah, ia akan mencari solusi dan bukannya menangis. Katakanlah aku merindukannya hingga aku penasaran apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku menghela napas dalam, aku ingin menemuinya.

Jisoo

Jisoo

Jisoo

Nama itu benar-benar menghantuiku! Kini aku seperti orang yang tersesat di kerumunan karena mencari pemilik nama itu. Beberapa detik yang lalu, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasa bahwa pemuda itu berada di sekitarku. Hawa hangatnya di tengah dinginnya malam, dia pasti disini. "Jisoo?" panggilku sembari terus mencari, menabrak orang-orang di kerumunan, aku tidak peduli.

Pemuda itu, sudah meracuniku sejak kali bertemu. Dia membuatku benar-benar candu, aku tak ingin jauh darinya, aku ingin bersamanya, aku ingin memeluknya, dan sekarang dia benar-benar membuatku seperti orang gila karena terus mencarinya. Aku membutuhkannya, aku ingin memeluknya sembari mengucapkan kata maaf.

Aku berdiri di belakang kerumunan dan aku tersenyum dengan napas terengah. Pemuda yang kuyakini sebagai Jisoo itu berdiri memunggungiku dan perlahan ia berbalik, menampilkan topeng yang menutupi wajah tampannya. "Jisoo!" panggilku seraya tersenyum lebar. Jisoo tidak berucap apapun selain berjalan mendekatiku, perlahan ia membuka topengnya dan kudapati mata teduhnya yang berkaca-kaca.

Ia meraih daguku dan mendekatkan wajahnya ke arahku, mengecupku dengan air mata yang mengaliri pipinya. Aku yang sempat terkejut pun hanya ikut memejamkan mataku, membiarkan air mataku ikut turun mengriringi ciuman kami. Entah bagaimana, pemuda itu seperti sengaja menyalurkan kesedihan, kegelisahannya lewat kecupan singkat itu. Aku kembali membuka mataku ketika kurasa wajahnya menjauh.

Jisoo tersenyum, hangat seperti biasa, tapi air mataku tak dapat berhenti. Ia meraih bahuku, kembali mendekatkan wajahnya dan mengecup dahiku lembut. Aku kembali memejamkan mata, meski kudengar suara kembang api dan kurasakan cahaya bahkan ketika mataku tertutup. Kecupannya sangat lembut hingga aku ragu bahwa Jisoo masih disana. Perlahan aku membuka mataku dan benar saja, pemuda itu sudah tidak lagi berdiri disana.

Jisoo

Lidahku bahkan kelu untuk memanggil namanya. Kini aku terduduk dan menangis tanpa bisa mengeluarkan suara. Rasanya menyakitkan, dadaku sesak, kepalaku sakit, dan aku kesulitan bernapas. Aku janji aku akan selalu di sisimu. Aku mengatur napasku perlahan, dan aku bangkit menatap langit biru malam hari.

"Selama janji itu berasal dari hatimu dan kau melakukannya karena hatimu, aku tidak akan sedih." Lirihku. Aku menolak perjanjian itu meski kutahu Jisoo mengucapkannya tulus. Aku harus menerimanya karena dialah satu-satunya orang yang kubutuhkan. Aku harus mencarinya sekarang.

Aku menoleh kesana kemari dan tak menemukan siapapun, hanya hamparan rumput di atas bukit. Aku tidak tahu sekarang aku berada di mana, tapi aku harus pergi dari sini. Aku harus menemui Jisoo, aku akan menemukannya dimana pun ia berada.

To Be Continued

Ini bentar lagi ending jadi jujur ma aku, sejauh ini mana yang gak jelas?

ini emang amburadul dari awal ato pas di tengah?

Ato udah jelas?

Apapun itu pokoknya makasih aja buat kalian♥

Friday, 19 June 2020

Break Our Promise [JIHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang