Deadly Sins

28 3 0
                                    

⚠️Alert!⚠️
Cerita ini hanyalah fiksi. Seluruh isinya murni karangan author.





Suara bising di jalanan, kini bukanlah hal yang memganggu. Mendengar klakson kendaraan yang saling bersahutan, sudah menjadi kebiasaan di pagi hari. Apalagi hari ini adalah hari Senin, hari yang membuat semua orang malas untuk melaluinya.

Aku melepas helm yang ku pakai ketika diriku sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah bangunan dimana aku menimba ilmu. Iya, sekolah.

Aku menyerahkan helm yang ku pinjam ke abang ojek. Ku rogoh uang yang sudah ku siapkan di dalam saku bajuku, lalu ku berikan ke abang ojek itu. Berterima kasih sembari tersenyum tipis sejenak, sebelum akhirnya ku langkahkan kakiku masuk ke halaman sekolah.

Baru saja menginjakkan kaki di pelataran sekolah, aku sudah diperhatikan oleh murid-murid lain. Mereka semua menatapku aneh, kemudian bergidik ngeri sendiri. Ini bukanlah suatu hal yang baru, aku sudah terbiasa ditatap aneh seperti itu oleh mereka setiap hari.

Tanpa menghiraukan tatapan mereka, aku tetap berjalan menuju kelasku. Tetapi, tiba-tiba ada tangan yang meraih bahu kananku. Aku reflek menoleh ke belakang.

"Oh hai, Jeane!" Sapaku dengan senyum lebar.

"Hai, Vey!" Balasnya tanpa semangat dengan senyum tipis yang menurutku sangat dipaksakan.

Aku sedikit terheran karena sikapnya tidak seperti biasanya. Aku sangat mengenal sifat Jeane. Dia adalah tipe orang yang hiperaktif dan bagaikan sinar matahari yang selalu ceria. Namun hari ini, ia tidak seperti Jeane yang ku kenal.

"Kenapa kamu terlihat pucat sekali, Jey? Kamu sakit?"

Ia hanya menggeleng menjawab pertanyaanku. Ia secara tiba-tiba menarik pergelangan tanganku. Aku hanya terdiam memperhatikan apa yang sedang ia lakukan. Tak berlangsung lama, benda bermanik-manik kecil berwarna hitam sudah melingkari pergelangan tanganku. Ia memberiku sebuah gelang.

"Untukmu." Katanya.

Tanpa bertanya lebih ataupun curiga, aku hanya tersenyum senang diberi gelang olehnya.

"Terima kasih, Jey." Ucapku padanya. Ia menanggapi dengan anggukan kecil.

"Ayo masuk ke kelas!" Ajakku.

"Maaf, tidak bisa. Hari ini aku bolos sekolah." Katanya.

Aku mengerutkan keningku kebingungan. "Jadi kamu ke sekolah cuman mau ngasih gelang ini ke aku?" Dan dia mengangguk.

"Bye, Vey!" Salam akhirnya, kemudian berlalu pergi begitu saja, meninggalkan diriku yang terdiam kebingungan menatap punggungnya yang kian menjauh.

"Veyra!!" Aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan.

Ku cari sumber suara itu. Ternyata, dia adalah Tiana, teman satu kelasku. Bisa dibilang, Tiana dekat denganku akhir-akhir ini.

"Hai, Tian" sapaku dengan nada yang jauh berbeda ketika aku menyapa Jeane tadi.

"Kau sedang apa di sini? Kamu keliatan bingung sekali. Siapa yang kamu ajak ngobrol tadi?"

"Tadi? Jeane. Siapa lagi?" Jawabku ketus.

Entah mengapa jika bersamanya, aku berubah menjadi perempuan jahat.

Aku melangkahkan kakiku melanjutkan perjalananku menuju kelas. Baru saja 5 langkah, aku merasa Tiana tidak mengikutiku. Aku menoleh ke belakang, di situ dia berdiri membeku entah karena apa.

"Tian!" Panggilku sedikit keras agar ia tersadar dari lamunannya.

"Eh, iya!" Ia gelagapan sendiri hingga kini kami berdua berjalan berdampingan.

~~~

Suara gemericik air dari wastafel yang ku nyalakan, membuatku melamun tentang kejadian tadi pagi. Sudah menjadi kebiasaan buruk diriku disaat sedang sendirian. Ku tatap lama pantulan diriku di cermin, hingga tepukan sedikit kencang di pundakku mengagetkanku.

"Jangan melamun, Vey! Kamu nih kalo ngelamun suka gak tau tempat!" Titah Tiana.

"Sudah, ayo kita balik ke kelas lagi!" Tiana langsung menarik tanganku keluar dari toilet, seakan-akan tidak membiarkan diriku melamun lagi.

Baru beberapa langkah keluar dari toilet, ada seseorang yang memanggilku. Aku dan Tiana sama-sama berhenti. Ku tolehkan kepalaku ke orang itu.

"Jangan lupa nanti habis kelas tambahan, kita ada rapat di ruang osis!"

"Ok, thanks infonya!"

Semenjak aku mengikuti osis dibangku SMP, aku jadi semakin terbiasa pulang malam. Sampai seragamku berubah menjadi putih abu-abu pun, aku masih ingin mengikuti organisasi itu. Bisa dibilang, aku sangat terobsesi menjadi siswa yang menduduki peran penting di suatu organisasi. Aneh, tapi itulah aku.

Beberapa jam kemudian, aku sudah keluar kelas sambil menggendong tas. Kini aku berjalan menuju ruang osis. Sengaja aku melangkah sangat pelan demi bisa melihat pemandangan matahari yang hampir tenggelam.

Tak terasa aku sudah berdiri di depan ruang osis. Aku langsung masuk ke dalam untuk menyalakan lampu dan AC. Ku dudukkan diriku di sebuah bangku kayu yang terdapat banyak coretan. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Aku hanya bisa mendesah pelan melihat jarum jam yang belum menunjukkan pukul 5 tepat. Tadi guruku izin pulang lebih awal karena ada urusan dengan keluarganya, oleh sebab itu kelasku pulang lebih awal.

Tanpa sadar, aku melamun sebentar. Kejadian tadi pagi saat bertemu dengan Jeane, bersarang di pikiranku. Aku merogoh gelang bermanik hitam yang diberikan oleh Jeane. Ku tatap sebentar gelang itu sebelum memakainya. Aku tersenyum melihat gelangnya terlihat kontras dengan warna kulitku.

Aku menguap tanpa bisa ditahan. Betapa lelahnya hari ini. Harusnya sekarang aku sudah sampai di rumah, jika tidak ada rapat osis hari ini. Aku berniat tidur terlebih dahulu, sembari menunggu teman-teman osisku datang.

Kepalaku ku sandarkan di atas silangan kedua tanganku. Kedua mataku terpejam. Akan tetapi belum sempat aku masuk ke dalam mimpi, tiba-tiba ada suara hantaman sangat keras dan membuat ngilu bagi siapapun yang mendengarnya. Aku dengan panik langsung keluar ruangan untuk melihat apa yang baru saja terjadi. Beberapa detik, aku membeku setelah membuka pintu.

Bola mataku bergerak menelusuri lorong sekolah yang kini berubah menjadi lorong kosong dengan nuansa bangunan kolonial Belanda. Rasa panikku berganti rasa takut dalam sekejap. Aku pun mulai melangkah dengan suara seminimal mungkin.

Menoleh ke samping kanan kiri, ku temukan beberapa foto yang terpajang di dinding. Karena diliputi oleh rasa penasaran, aku memberanikan diri memperhatikan salah satu foto itu. Di foto itu terdapat sekelompok orang yang sedang  melingkari seorang wanita bertelanjang bulat yang terikat di atas meja batu dengan banyak luka dan bercak darah di tubuhnya.

Aku hanya bisa bergidik ngeri melihat foto itu, lalu kembali melangkah. Suara hantaman keras pun terdengar kembali, membuatku terjengkit kaget, namun bedanya suara itu terus berulang. Akibat rasa penasaranku yang mendominasi, tanpa berpikir dua kali langsung mendekati asal suara itu.

Tubuhku berubah menjadi kaku saat melihat dengan mata kapalaku sendiri kejadian yang sangat sadis di depanku. Aku pun menangis. Dengan cepat ku bekap mulutku sendiri yang hendak mengeluarkan isak tangis melihat apa yang sedang terjadi.

Sahabatku, Jeane





Edited: 20 Juni 2024

Vanila🍦

Imagination [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang