HTS ---3

34 7 4
                                    

Jakarta,

Seperti biasa, suara keriuhan terdengar sangat bising kala memasuki area SMA 07. Suara teriakan para siswa bisa membuat telinga sakit sangking kencangnya entah apa yang mereka teriaki. Di deretan depan kelas pun juga banyak para siswi yang sedang asiknya menggosip.

Pemuda bertubuh jangkung itu melewati segerombolan siswi-siswi tersebut. Sambil mengedipkan genit satu matanya dan melambaikan tangannya membuat banyak murid perempuan histeris. Radit, pemuda yang memiliki nama lengkap Raditya Arkan Pangestu itu terus saja menggoda. Mempermainkan banyak hati adalah salah satu hobinya.

Tak tanggung-tanggung bahwa hampir semua perempuan cantik di sini adalah mantannya. Ralat, mereka yang hanya mengakui Radit adalah pacarnya, sedangkan laki-laki itu tidak peduli sama sekali.

Ia berlalu dan mulai memasuki kelas yang bertuliskan 12 Ipa 1. Kelas yang hanya beberapa bulan lagi akan ia tinggalkan. Kelas yang penuh riuh akan canda dan tawa. Hem, Radit tersenyum tipis mengingat sebentar lagi ia akan lulus.

Bel sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Seorang wanita berkemeja lengan pendek dan bersanggul itu memasuki kelas untuk mengajar.

"Oke anak-anak, ibu minta hari ini kalian menyelesaikan tugas ini. Ibu kasih waktu empat puluh lima menit untuk mengerjakannya."

Mereka terlalu di bawa serius, apalagi pelajaran matematika adalah pelajaran yang cukup sulit bagi sebagian murid.

Namun berbeda dengan Radit, laki-laki itu masih asik menghitung jawaban dengan menerka-nerkanya saja. Memilih-milih jawaban mana yang cocok untuk soal tersebut dengan sembarangan.

Hingga ketukan pintu mengusik sebagian siswa. Seseorang yang di ketahui kepala BK itu masuk dan memanggil seorang nama.

"Raditya Arkan Pangestu, ikut Ibu sekarang!"

Laki-laki yang di sebut tadi menautkan alisnya heran, "ngapain?" ia menoleh pada Eza'---teman sebangkunya.

"Dapet rejeki kali, Dit." celetuk Gevan sembarangan.

"Yang namanya di panggil BK itu yah pasti ada masalah, bukan malah dapet rejeki. Aneh banget sih lo." sanggah Eza' menanggapi celetukan Gevan yang menurutnya tak masuk akal.

"Idih, sok bijak lo." pensil Gevan yang tadi ia gunakan untuk mengerjakan sukses mengenai dahi Eza'.

---


Laki-laki bertubuh tegap itu menyerngit heran kala netranya menangkap dua gadis yang sudah tampak tak asing baginya.

Iya, itu pasti Naila dan--Resty, salah satu siswi yang mungkin suka rela membantu cewek itu. Siapa lagi perempuan yang berjilbab selain Naila di sini. Dan satunya lagi, Resty, terlihat dari rambutnya yang sebahu dan wajahnya juga terlihat dari samping.

Lantas ia mendekati keduanya yang sedang di depan kamar mandi perempuan. Di depan ruangan itu ada beberapa wastafel yang memang di sediakan untuk siswa-siswi.

"Kenapa lagi tuh cewek," ujarnya sambil mendekat, penasaran dengan Naila yang tampak pucat. Wajahnya yang tengah di basuh dengan air.

Melihat ada orang mendekat, Resty---cewek itu tidak sengaja melihat wajah pucat Naila berniat membantu Naila, langsung menghalaunya. Memang ini masih waktu pembelajaran. Tapi kenapa Gilang yang notabenenya teman sekelas dengan Naila itu juga keluar kelas. "ish, Gilang lo jangan deket-deket Naila dong,"

"Kenapa?"

"Pergi Lang," gertaknya pada laki-laki yang memiliki rambut sedikit pirang itu.

Lantas Radit hanya melengang pergi menuruti permintaan Resty. Naila di sana hanya diam menahan sakit yang mendera kepalanya.

"Elo beneran gapapa. Ke uks ajalah." Resty sedikit respect pada Naila. Namun gadis itu hanya menggeleng. Bibir kering Naila membuat Resty lebih sedikit khawatir.

Namun gadis itu lagi-lagi hanya mengulas senyumnya. Menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

"Gapapa, hari ini aku nggak mau bolos." ujarnya dengan nada sedikit lemah.

"Tapi keadaan lo--" Ucapan Resty terpotong kala Naila lebih dulu berujar.

"Nggak papa Res,"

---

"Masalah yang di buat Radit sudah kelewatan, Pak. Kita harus mengeluarkannya dari sekolah ini." ujar kepala BK memberitahu pada Ayah Radit.

"Masalah?" Radit pun menyerngit heran. Seingatnya ia tak melakukan kesalahan apapun akhir-akhir ini.

"Kamu kan yang udah membuat Vano babak belur. Dia masuk rumah sakit karena mengalami patah tulang. Dan itu karena kamu." Bu Wati memperjelas permasalahan yang ia bahas kali ini.

"Ohh, dia aja yang banci. Di pukul dikit mewek, pakek acara ngadu pula."

"Maaf pak. Dari pihak sekolah sudah mempertimbangkannya. Radit ini sering kali membuat masalah. Dan ini juga sebagai permintaan orang tua Vano yang menginginkan Radit di keluarkan dari sekolah."

"Maaf sebelumnya Bu. Dan terima kasih telah mendidik anak saya sampai sekarang ini." Edo---pria berusiakan empat puluh tahun lebih itu menghela napasnya panjang.

Keduanya pun keluar dengan Radit yang berjalan lebih dulu.

"Papa ini cuma ingin kamu berubah, jadi anak yang baik dan menaati peraturan."

"Ohh cuma itu, gampang kok. Udahkan? Radit mau pamit ambil tas."

---

"Sakit lagi, sok-sok an sih. Makanya belajar ya belajar. Istirahat ya istirahat." Gilang menggebrak meja yang tengah di jadikan Naila tumpuan.

"Cewek kayak lo ngapain sih masih sekolah di sini. Udah miskin sok-sok an." Laki-laki itu senang sekali mencibir.

"Mana ada cewek yang mau jadiin cewek bisu itu temen." cibir Gilang pada Naila. Namun, gadis itu hanya menghiraukannya.

Respon dari para manusia yang ada dalam kelas itu? Tidak ada yang peduli. Mereka hanya sibuk dengan apa yang mereka bicarakan, entah tas mahal miliknya ataupun acara-acara yang akan ia lakukan nanti.

Tatapan sinis dari Gilang membuat Naila tak nyaman. Entahlah biasanya Radit juga seperti ini tapi hari ini Naila merasa sedikit benci pada Gilang.

Naila sedang duduk, bangku kosong di sampingnya mengingatkannya pada Kayla. Sosok teman sebangkunya yang juga sangat pendiam sepertinya.

Tiga tahun bersama nyatanya hanya beberapa percakapan yang mereka lakukan, sependiam itu mereka. Sudah beberapa hari Kayla tak mengikuti pelajaran lagi alias belum masuk sekolah.

Naila mendesah pelan. Napasnya terasa begitu hangat menerpa ujung-ujung jarinya ketika tangannya ia dekatkan pada hidung mungilnya.

Sakit yang mendera kepalanya semakin membuatnya pusing. Hingga bel yang menyatakan pulang sekolah berbunyi.

Ia duduk di bangku halte yang biasa ia tempati untuk menunggu Fatan. Lima belas menit kemudian, gerombolan para siswa menyeruai berhambur keluar.

Ia melihat Fatan sedang berjalan keluar gerbang sendirian. Temannya? Entahlah Naila menghela napas lega. Teman Fatan yang terlihat seram tak bersama Fatan lagi.






Komen untuk lanjuut 😊
Jangan cuma dibaca aja dong, komen jugaak
Apa aku Unpub aja ya karena nggak ada yang komen.

Heii Tunggu Sebentar ! [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang