[18] Percaya Kata Orang daripada Bukti di Depan Mata
Aku ingin sakit ini menghilang. Untuk itu, aku akan melupakan kecurigaan itu. Kamu benar, kesalahanku hanya tidak bisa memercayaimu.
”Kenapa cuma tiga hari aja, Fela? Terus honey moon-nya gimana? Waktu libur kamu ’kan masih panjang.”
Sambutan Mama menggema saat aku tiba di rumah pada Kamis pagi dengan membawa satu tas tangan berisi pakaian kotor. Sejak menginap di Rimbo Panjang, aku sudah berencana pulang Selasanya. Rencana jadi molor dua hari karena Mas Nata. Rabu pagi sampai malam dia hanya di rumah saja. Niatku untuk pergi tentu saja harus tanpa sepengetahuan dia. Beruntung hari ini ujian mata pelajaran Sejarah. Mas Nata ke sekolah seperti biasanya.
Dalam perjalanan aku sudah mengatakan alasan ingin menemani Mama saja. Aku tidak yakin dia akan menyusul ke sini kalau aku berangkatnya diam-diam. Mungkin dia malah senang. Ambar akan dia boyong lagi ke rumah itu.
Rencana ini harus lancar dan itu butuh persiapan halus. Setelah Mas Nata yakin aku sudah tidak memerkarakan Ambar, dia akan lengah.
”Bosan ah di sana.” Aku memeluk Mama. ”Lebih enak berduaan dengan Mama aja.”
Mama balas memelukku juga. ”Apa Nata sering ninggalin kamu di rumah?”
”Justru Mas Nata di rumah terus. Hari ini baru sekolah lagi karena ujian Sejarah.”
”Sudah makan?”
Tidak lama basa-basi dengan Mama. Mama bilang ada acara di rumah Ibu RW. Aku sangat ingin menolak. Hari ini aku mau ke SMA SGS untuk mengintai mobil Mas Nata. Tapi terpaksa ditunda karena harus ikut Mama. Aku tidak punya alasan dan juga rencana agar bisa keluar. Aku emang bodoh. Harusnya tadi aku tunggu di depan sekolah sebelum pulang. Hah.
Mama bersemangat mengajak aku ke acara perkumpulan para tetangga. Saat kami tiba, Mama langsung mengenalkan aku pada wanita yang pertama kali kami temui. Mama Marsya bilang kalau perkenalan ini bukan hanya say hello dan sebut nama. Mama mau kami semua mempererat tali silaturahmi.
Ternyata Mama Marsya sengaja bertanya aku sudah makan atau belum karena Mama tidak masak hari ini. Di sinilah kami duduk mengelilingi makanan khas Batak. Bau rempahnya sangat menyengat hidung. Kelihatannya sih nikmat. Warnanya yang kuning pasti rasanya juga gurih. Kata Ibu RW itu namanya arsik.
”Bahan utamanya adalah ikan mas dan dicampur dengan andaliman.”
Aduh.
Aku belum pernah memakan ikan itu. Kira-kira aku bisa menelannya atau enggak? Aku pikir tadinya itu cuma ikan laut. Kalau ini ... pasti amis. Sisiknya kan banyak. Isi perutnya juga dimasak.
”Ini enak loh. Mama itu sengaja nggak masak, ya, karena mau makan ikan arsik bikinan Bu RW. Cuman orang Batak asli yang enak memasak arsik. Dulu saking penginnya, Mama beli di rumah makan. Rasanya nggak mantap. Ini nih lihat, baru disendok aja, udah bikin ngiler kan?”
Aku menelan ludah melihat satu potong besar ikan mas masuk ke piringku. Mama juga menyandukkan kuahnya yang kental.
”Nanti Fela akan ketagihan seperti Mama.”
Bu RW dan ibu-ibu lain langsung memuji-muji makanan itu. Di sini Bu RW tidak menggunakan kursi dan meja. Kami duduk di lantai dalam posisi melingkar. Di tengah-tengah adalah sajian dari tuan rumah. Masih banyak masakan lain, kenapa harus ikan mas ini yang ada di atas nasiku?
”Ayo, ayo, mari dinikmati masakannya,” tawar Bu RW ramah.
Inilah siksaan dunia. Aku mati-matian menelan ikan yang tidak cocok di lidah demi menghargai tuan rumah. Aku juga harus tersenyum saat mereka bertanya ’Bagaimana, enak?’ dan mengangguk sambil pelan-pelan mengunyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Singgah (Complete)
General FictionBe a wise reader. Pilihlah cerita sesuai usiamu dan minatmu. Cerita ini berlabel dewasa, bukan karena adegan mantap-mantap, tetapi tema cerita ini dewasa. Jangan sampai salah pilih cerita, ya. Tinggalkan kalau memang nggak sreg. *** Fela dijodohk...