[23] Aku Bukan Tokoh Antagonis, Dia Juga Bukan

8K 1.3K 553
                                    

[23] Aku Bukan Tokoh Antagonis, Dia Juga Bukan

MAAF BANGET SOAL USIA MAS NATA. DIA DAN FELA SEUMURAN YA. TUA NATA DIKIIIT. KHILAF KHILAF.

"Semua penyakit ada obatnya, tapi sakit yang aku punya tidak. Aku cuma bisa cari pereda." ~Fela Permata Honey~

***

Wahyu melihat arloji di tangannya. "Kayaknya iya. Saya tadi kasih tau alamat ini sama Ambar pulang sekolah. Butuh waktu sekitar lima puluh menit untuk ke sini dari SMA-nya Pak Nata setelah diteks Ambar." Wahyu cepat bergerak ke depan untuk memeriksa tamunya.

Tungkaiku tegak. Aku pejamkan mata dan hirup udara panjang. Ada sedikit gemuruh bersahutan di dalam rongga dada. Telapak tangan aku letakkan untuk merasakan detakannya yang cepat.

Mas Nata, apa yang akan kamu lakukan sekian lama kita tidak bertemu?

"Fela! Bagaimana kabar kamu?"

Mas Nata tiba di hadapanku. Melihatnya lagi seperti ada jejak rindu yang terlepas dari kalbu. Suami yang sudah beberapa bulan tidak aku jumpai ini terlihat gagah dengan seragam kebangsaannya. Kemeja putih yang dimasukkan ke pinggang celana dasar hitam. Perut datar dan lengan kokoh. Kacamata minus bertengger manis di hidung yang mancung. Rahangnya tegas berjejak cukur. Mas Nata menyentuh pundakku, melihatku lebih dekat.

Tubuhnya terdorong. Tanganku lantas berpindah ke permukaan perut dengan refleks. Mas Nata kaget karena aku menolaknya. Matanya kini melihat kepada objek yang aku sentuh. Calon bayi yang mungkin akan merupai wajahnya yang tampan.

"Mau apa kamu ke mari?"

Mas Nata terpaku. Sekian lama tidak betemu, ia pikir aku akan lupa yang sudah dia lakukan?

"Mas!"

"Sudah waktunya kamu pulang."

"Hahaha."

Pria berkemeja putih lengan pendek itu tiba-tiba melucu.

"Apa yang bikin kamu tertawa?"

"Kamu!" Aku menunjuk dadanya.

"Saya serius. Apa terdengar lucu?"

"Pulang ke mana? Aku tidak merasa punya rumah. Apa suami aku sudah membangunkan aku rumah? Kalau yang kamu maksud pulang adalah ke rumah orang tua kamu, untuk aku itu bukan pulang. Aku di sini tidak punya tempat untuk kata itu."

Emosiku meninggi sewaktu Mas Nata tiba-tiba menarik sikuku. Aku belum sempat memberontak karena Mas Nata langsung berkata lirih bahwa ia ingin bicara di tempat lain. Aku menyadari pembicaraan kami bakalan panjang. Dan aku tidak mau ada orang lain-bocah Wahyu-yang ikut jadi pendengar. Aku ingin masalah ini selesai setelah aku membahasnya dengan sekali bertemu seperti kata Anand. Jalan keluarnya hanya Mas Nata.

"Baik."

Dalam perjalanan Mas Nata kembali bikin aku marah-marah karena arah yang dipilihnya merupakan jalan ke rumah orang tuanya. Aku mengomel panjang minta diberhentikan sambil menangis tersedu. Ya ini terdengar aneh. Apalagi melihat keadaan wajahku yang benar-benar basah seperti korban kekerasan rumah tangga. Akhirnya mobil berbelok ke sebuah halaman mall. Tiga menit dari sini sudah sampai di rumah Mama Marsya dan Papa Deni.

Mas Nata mengangsurkan tisu. "Saya nggak akan bawa kamu pulang kalau kamu belum mau."

"Bilang dong dari tadi." Akibat menangis, hidungku jadi berair. Aku membawa kotak tisu Mas Nata ke luar. "Kenapa? Kamu malu?" bentakku ketika Mas Nata melihat kelakuanku ini. Dia hanya menggeleng, kelihatannya juga menahan untuk tersenyum.

Coffee shop yang terdekat dari parkiran menjadi pilihan Mas Nata. Dia menarik tanganku ke tempat duduk dekat jendela kaca. Aku sempat memperhatikan lengan kerasnya itu sewaktu memegangku. Fela, dia bukan lagi Mas Natamu. Mas Nata pergi ke bar pemesanan tanpa menanyakan aku ingin minum apa.

Pernikahan Singgah (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang