Perpisahan bukanlah sebuah kegagalan, tetapi keberanian menatap masa depan yang baru.
Setelah melahirkan, aku harus memikirkan pekerjaan. Dengan apa memenuhi kebutuhan Gafi kalau tidak bekerja? Sepulang dari rumah sakit, aku menggunakan waktu luang untuk cari-cari lowongan di internet. Tentunya perlu mempertimbangkan kondisi sebagai ibu tunggal. Pekerjaan itu harus ramah anak. Aku ingin mengajak Gafi atau bila harus meninggalkannya, jangan sampai sore atau malam. Tapi Gafi tak mungkin ditinggal kalau masih bayi. Otomatis sebelum usianya dua tahun, pekerjaan dari rumahlah yang paling sesuai.
Dulu waktu memutuskan bercerai, aku tidak memikirkan kemungkinan ini. Aku hanya ingin bebas dan rasa sakit itu terangkat. Jika masih bertahan dengan papanya Gafi, aku merasa akan menzalimi diri sendiri. Sudah dibohongi berjamaah, ngapain masih mau bertahan? Dan ya, kami resmi bercerai satu bulan yang lalu di usia Gafi yang keenam bulan. Oke, mari lupakan dulu soal Mas Nata. Pagi ini aku ada interview di sebuah kantor surat kabar untuk posisi riset dan dokumentasi.
Memikirkan kondisi keuangan, aku pun tergiur melemparkan lamaran ke perusahaan itu, meski umur Gafi belum satu tahun. Dan kalau aku mundur sekarang, siapa tahu tidak ada keberuntungan seperti ini. Dahulu juga begini, sewaktu fresh graduate, dari sekian surat yang aku kirim hanya satu atau dua yang direspon balik. Ternyata keberuntungan yang aku alami sekarang, tidak didukung oleh sikon. Gafi ... anakku sudah rapi dan sedang menendang-nendang ke udara lalu memasukkan jari kaki ke mulutnya.
Dengan siapa aku titipkan?
Jika nanti diterima, sepertinya Gafi harus dibawa Bunda. Dari dulu juga Bunda sudah menyarankan. Toh Bunda membawa serta aku ke toko saat masih bayi. Sialnya beberapa menit Bunda pergi, barulah pihak redaksi menghubungi untuk wawancara pukul sepuluh. Dan bayiku ....
”Yang penting kita sampai dulu ke kantornya ya, By.” Aku menggendong Gafi serta menenteng tas berisi susu dan perlengkapan dia.
Masalah dengan siapa Gafi saat aku wawancara pasti akan ada jalannya. Di sana mungkin ada yang bisa dititipi. Pukul sepuluh kurang lima menit kami tiba di gedung bertingkat dua pinggir jalan besar. Aku menatap gedung biru itu dengan sedikit gugup. Apa yang mereka pikirkan melihat calon karyawannya membawa anak?
Tidak. Gafi bukan masalah. Kamu justru keberuntungan Mama. Ia pun tersenyum kecil melihatku. Bayiku yang tampan, menyerupai papanya. Kita akan menghadapi ini berdua, Sayang. Seseorang yang berdiri di belakang meja tamu mengarahkan aku untuk naik ke lantai dua. Ia sedikit mengernyit melihat Gafiku. Aku pun cuma mengangguk sebagai isyarat terima kasih dan pamit.
Ruangan di lantai dua terdiri dari meja-meja bersekat. Hanya puncak kepala saja yang tampak dari tempatku berdiri. Berjalan ke sebelah kiri, ada meja tertutup kaca dan sedikit lubang seperti tempat penjualan karcis. Aku menuju ke sana. Seseorang di balik kaca itu meminta aku duduk dan mengatakan jika sedang berlangsung wawancara lain.
”Boleh saya gendong, Kak?” Seseorang dari lorong sebelah kiriku menyapa. Ia perempuan muda berpakaian putih dan celana hitam khas seorang trainer.
Kesempatan emas.
”Bisa menggendong bayi?”
Dia mengangguk cepat. ”Saya juga punya bayi.”
Baik, aku salah mengira usia gadis ini. Barangkali dia bukan anak kuliahan yang sedang PKL. Mungkin dia memang seimut itu.
”Namanya siapa?” tanyanya. Gafi juga sudah dia gendong.
”Gafi. Saya titip putra saya. Terima kasih sebelumnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Singgah (Complete)
General FictionBe a wise reader. Pilihlah cerita sesuai usiamu dan minatmu. Cerita ini berlabel dewasa, bukan karena adegan mantap-mantap, tetapi tema cerita ini dewasa. Jangan sampai salah pilih cerita, ya. Tinggalkan kalau memang nggak sreg. *** Fela dijodohk...