31. Happy Sweet Seventeen!

2 0 0
                                    

Malam ini, setelah kami sekeluarga makan malam bersama di sebuah restoran, Mama dan Papa mengajakku berkeliling kota terlebih dahulu. Ya, hanya kami bertiga, lantaran Bi Esih sudah pulang kampung. Ramai, padat, dan juga beberapa kawasan sudah ditutup dengan alasan digunakan untuk acara perayaan tahun baru.

Pukul 21.00, Papa memarkirkan mobil kami di dekat kawasan Monas. Kami bertiga turun dari mobil, melangkahkan kaki untuk berbaur di tengah keramaian. Aku menggandeng tangan Mama. Biar saja dikatai ‘Anak Mami’, memang nyatanya seperti itu. Semua orang, kan, anak mami.

Hampir satu jam kami berjalan kaki entah ke mana. Mengelilingi kerumunan manusia, tentunya. Namun tanpa tujuan pasti.

Atau mungkin, hanya aku yang tak tahu ke mana tujuan kami berjalan?

Mama sedari tadi sibuk memainkan ponsel. Apa Mama masih saja sibuk dengan urusan kantornya, padahal malam ini adalah malam khusus momen keluarga? Entahlah. Tapi, kurasa, aku seperti dianggurkan, dikacangi, atau apalah itu.

"Ma," kupanggil Mama, Mama gelagapan. “Mama banyak urusan kantor, ya? Kok sibuk main handphone terus?”

Mama tersenyum.

"Enggak, kok." Mama mengelus puncak kepalaku. “Ini... Mama lagi cari referensi. Daerah mana aja yang jadi pusat keramaian.”

Aku hanya ber-oh ria.

"Yuk, ke sana" titah Mama. Aku dan Papa mengikuti arahan Mama.

"Seneng nggak, kamu?" Papa bertanya padaku.

"Seneng, lah, Pa."

Mama terus memimpin kami. Maju, belok kanan, belok kiri, balik kanan, balik kiri, entah ke mana kami akan dibawa pergi. Yang pasti, aku menikmatinya. Ya, lantaran ada suara alunan lagu di sekitar, juga semakin banyak kembang api meletup-letup di langit malam. Sangat meriah.

"Beby!"

Aku menoleh ke sumber suara. Velly sedang melambaikan tangan padaku dari jarak yang tidak jauh dariku. Ia sedang bersama anggota Rehat lain, juga bersama Andre.

Tanpa sadar, aku membalas lambaian tangan Velly. Ya, aku juga melambai kepadanya sebelum akhirnya aku mengembungkan pipiku lantaran teringat bahwa aku sedang berlagak marah pada mereka.

Wajah mereka justru semakin riang. Mereka berjalan mendekatiku yang sedang bersama Papa dan Mama.

Candy tiba-tiba memelukku. Ia menangis di bahuku. Bahuku terasa basah. Entah karena air mata atau karena ingus. Ia begitu erat memeluk tubuhku. Hingga aku merasakan sebuah kehangatan.

Kehangatan yang sudah lama tak kurasakan. Kehangatan yang telah lama kuabaikan. Kehangatan dari sahabatku yang selalu bisa meluluh lantakkan seluruh egoku.

Ya, aku luluh oleh tangisan Candy. Aku juga menangis di pelukannya. Velly pun akhirnya ikut memelukku.

Berpelukan!

Kulirik yang lain, Reyhan sedang berpelukan dengan Ago dan Andre. Mereka mendramatisir. Sok-sokan menirukan gaya kami—para cewek yang sedang menangis ria.

"Beb, Papa sama Mama mau beli jajan dulu, ya. Kamu sama temen-temen kamu, jangan main jauh-jauh! Kalau Papa telpon, jangan dianggurin,” Papa berpesan dengan mendekatkan bibirnya ke telingaku lantaran di sekitar kami terlalu bising oleh suara orang-orang. Papa menepuk bahuku.

"Kalau mau ke mana-mana, kabarin," Mama berpesan.

"Siap, Om, Tante," Andre menjawab.

Papa dan Mama pun berjalan menjauh, menghilang dari jangkauan pandanganku, terhalang oleh banyaknya punggung yang nyatanya lebih besar dariku.

"Beb, maafin gue. Maafin kita semua. Kita salah, kita nggak jujur sama lo." Candy melepaskan pelukannya. "Lo mau, kan, maafin kita?"

Kugigit bibir bawahku, berusaha menahan perasaan haru. Mulutku bergetar, mataku mulai panas. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Tak bisa menyimpan terlalu banyak rasa rindu pada para sahabatku ini.

Aku memeluk Candy. Aku menangis di pelukannya. Aku mengangguk, tak mampu mengucap kata yang mewakili perasaanku saat ini.

Aku begitu bahagia.

Kemudian satu persatu tubuh sahabatku lainnya mulai menambah kehangatan di antara kami. Kami berenam saling berpelukan. Kami sudah seperti Teletubies saja.

Bedanya, Teletubies hanya ada empat anggota.

"Oh, iya. Reyhan katanya mau ngomong sesuatu sama lo," ucap Velly.

Satu persatu tangan yang saling menaut kini terlepas. Kulihat, Reyhan gugup.

"Kenapa, Rey?" tanyaku.

Reyhan mengacak rambutnya menggunakan sebelah tangan. Ia mendengus, mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Tuh, Beb. Belum ngomong aja udah gugup gitu," Ago menyindir.

"Cepetan!" Andre mendorong punggung Reyhan agar Reyhan lebih dekat denganku.

Reyhan menggaruk keningnya. Ia bergumam. "Beb," panggilnya.

Aku mengangkat sebelah alis, menanti penjelasan darinya.

Reyhan berdeham. "Bentar lagi, lo ulang tahun, ya?"

"Iya."

"Selamat, ya."

"Iya," jawabku. "Udah, gitu aja?"

"Gue mau ngasih tau."

"Apaan?"

"Gue suka sama lo," ucapnya cepat.

Sungguh, aku terkejut dengan pernyataannya. Bagaimana bisa, sahabatku sendiri yang sering menemaniku untuk menguntit cowok lain, ternyata suka padaku?
Dadaku bedegup kencang.

Tapi sejujurny, aku senang saat Reyhan menyatakannya.

Kurasa, aku juga menyukainya.

Kulihat teman-temanku lainnya satu persatu, mereka mengembungkan pipi, menahan tawa.

Aku malu.

"Udah, gitu aja." Reyhan kembali mengacak rambutnya sambil menunduk.

Lama tak  menjawab, aku akhirnya tertawa terbahak-bahak.

"Gimana, sih? Bukannya jawab malah ketawa," Candy sewot.

Aku menghela napas panjang. "Makasih Rey. Gue nggak tau harus ngomong apa," ucapku.

"Lo seneng nggak, Beb?" tanya Velly.

Aku tak dapat menyembunyikan senyumanku. Sudut-sudut bibirku terangkat. "Duh, ya gimana ya? Seneng, sih. Tapi bukan ..."

"Truth Or Dare!" Suara Ago, Candy, dan Andre yang memotong kalimatku berhasil mengejutkanku. Mereka akhirnya menjelaskan. Katanya, mereka hanya ingin mengerjaiku.

Aku merasa malu karena sudah terlanjur menganggap Reyhan serius. Kukembungkan pipiku, kupalingkan wajahku dari mereka. "Hih! Kurang ajar."

Pukul 00.00, beraneka warna kembang api meletup, membentang luas di langit malam yang indah. Tahun baru telah dimulai. Letupan kembang api bagai menjadi musik latar belakang kisah kami. Bagai degupan dalam dada yang sedang gencar-gencarnya meninju dari dalam.

"Happy sweet seventeen, Beby!" Semua sahabatku kompak mengucapkan selamat padaku setelah alarm Candy berbunyi pada pukul 00.01. Papa dan Mama tiba-tiba datang, memeluk, dan menciumku. Papa dan Mama menyampaikan berbagai harapan padaku. Kucium tangan Papa dan Mama.

Selepas itu, semua sahabatku yang hadir memberi ucapan padaku. Kami berdoa bersama untuk masa depan yang baik. Para sahabatku satu persatu menjabat tanganku.

"Seneng nggak?" tanya Reyhan ketika menjabat tanganku.

"Bodo!"

"Jangan marah, dong! Masa marah lagi? Nanti manisnya ilang, pindah ke gue."

Aku mengulum senyum.

Kami mendongak, saling merangkul, memandang langit yang dipenuhi oleh kembang api.

Hari ini, hari kembalinya kami—Rehat ditambah Andre. Hari spesial. Hari ulang tahunku yang ke 17, sekaligus hari pertama di tahun 2018. Aku berharap kami akan selalu bersama, selamanya.

"Jadi, gimana?" Reyhan bertanya lirih.

"Gimana apanya?"

"Nggak, deng."

"Apaan, sih? Nggak jelas, lo!"

Reyhan bedecak. "Lo juga."

Real Partner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang