30. Penghujung Tahun

4 0 0
                                    

Hari terakhir di bulan Desember. Hari terakhir di tahun 2017. Besok adalah hari ulang tahunku yang ke 17. Sayangnya, sampai pagi ini, belum juga aku menyatakan menerima  permintaan maaf dari para sahabatku—Rehat. Meski Andre juga ikut andil dalam hal ini.

Ya, sepertinya, Andre juga sudah tahu kalau aku menyukainya.

Ralat: pernah menyukainya.

Ingin kuberdamai saja dengan rasa ini. Ingin kutemui saja mereka. Sayang, aku hanya tak tahu bagaimana cara mengulang semua, bagaimana cara mengungkapkannya, bagaimana cara mengembalikan semua seperti semula.

Aku melangkah ke luar rumah. Menemui Papa yang sedang mencuci mobil di depan garasi. Kulihat, Papa sedang memberi sampo mobil di spon yang digunakan untuk mencuci mobil. Papa menoleh ketika aku datang.

“Pa, jalan-jalan, yuk!” Aku mengelus-elus mobil. “Papa, kan, libur. Mama juga.”

Tahun baru lalu, aku tak bisa menikmati momen bersama keluarga meski Papa dan Mama sedang libur, lantaran Mama sakit dan harus di rawat di rumah sakit.

Tahun ini, aku harus mendapatkan momen kembali dengan keluargaku. Terlebih, besok adalah hari ulang tahunku—sweet seventeen.

Papa mendengus, mengusapkan sponnya ke jendela mobil. “Kamu nggak pengen jalan-jalan sama temen-temen kamu?”

Aku terdiam, membungkam. Mulutku terkatup rapat. Kugigit bibir bawahku.

“Udah minta maaf belum, sama temen-temen kamu?”

Mataku terbelalak ketika mendengar pertanyaan dari Papa. Aku terdiam sejenak. Kutelan air ludahku. Aku mendengus. “Belum.”

Papa mendengus, tertawa, lalu menggeleng. “Kamu kenapa, sih? Kok bisa-bisanya marah lama-lama sama sahabat kamu sendiri? Kamu nggak kangen sama mereka?”

“Kangen, sih,” jawabku. Aku mengembungkan pipi. "Kangen banget malah."

Papa kembali menuangkan sampo mobil ke spon, kemudian mengusapkan sponnya ke mobil. “Dulu, Papa pernah dibohongin sama temen Papa waktu sekolah. Dia bilang, nilai ulangan Papa 90. Papa udah seneng, udah bangga waktu itu. Tapi, pas nilainya dibagi, ternyata Papa cuma dapat 60. Dan ternyata, peraih nilai ulangan terendah di kelas Papa waktu itu, ya Papa. Papa malu. Papa marah ke temen Papa yang bohongin Papa itu. Tapi, dia cepet-cepet minta maaf ke Papa. Dia bilang, dia nggak bermaksud jelek. Dia cuma pengen Papa seneng. Dari situ, Papa mulai maafin dia. Terus, Papa main lagi sama dia.”

“Itu kapan, Pa?”

“Waktu SD, sih. Kelas empat, kayanya.”

“Yah, Papa. Anak SD, mah, masih polos, Pa.”

“Justru itu.” Papa menyemprotkan air dari selang ke mobil. “Coba kamu belajar dari anak SD. Pertemanan anak SD itu biasanya murni. Nggak ada namanya ‘teman makan teman’. Kalau nggak suka, ya, marah aja. Nangis juga wajar. Tapi, mereka nggak malu untuk minta maaf dan memaafkan. Dan kalau udah maaf-maafan, semua selesai. Semua balik lagi. Main lagi seperti nggak ada masalah.”

Aku terdiam. Mulutku membungkam. Kata-kata Papa barusan bagai mengajakku untuk menjelajah ke lorong pikiran yang belum pernah kulewati. Papa membuka pikiranku. Papa benar.

Kurasa, anak kecil lebih tahu cara berteman daripada remaja sepertiku ini.

**

Aku menuju dapur, ingin minum. Kudengar Mama sedang melakukan panggilann lewat ponsel dengan seseorang.

“Iya iya, nanti. Iya, bisa, kok. Iya. Iya. Iya, sama-sama. Wa’alaikumsalam.”

“Dari siapa, Ma?” Aku mengernyit saat mengambil gelas. “Mama mau berangkat kerja?”

“Enggak, kok. Kan, ini libur tahun baru.”

“Terus tadi siapa? Ngapain?”

“Ada, lah, rekan Mama. Tapi, hari ini sama besok, Mama nggak berangkat kerja, kok. Mama libur. Tadi itu cuman ada yang minta dikirimin dokumen.”

Aku hanya ber-oh ria.

“Malam tahun baru, kamu mau ke mana, Sayang?” Mama bertanya.

Aku mengedikkan bahu. “Terserah Mama mau ke mana. Pokoknya, pengen jalan-jalan sama keluarga.”

“OK, kalau terserah Mama. Mama bakal ngajak kamu ke tempat spesial.”

“Di mana, Ma?” tanyaku antusias.

“Nanti juga kamu tahu sendiri.”

Real Partner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang