19. Bersama Ramon

5 2 0
                                    

Aku terkejut mendengar pernyataan Arif. Sebagian penghuni kelas yang mendengar celetukan Arif pun spontan menoleh ke arah kami. Bagaimana tidak, suara Arif saja menggelegar. Terlebih, tadi ia mengatakannya dengan suara yang lebih keras dari biasanya. Ia seperti jengkel.

Kutatap satu persatu dari beberapa pasang mata yang sedang menatap kami. Termasuk sepasang mata teduh milik Reyhan, juga sepasang mata elang milik Andre.

"Ciieeee... Ciiieee!!" seisi kelas bersorak riuh penuh celetukan.

"Ciieee, oh, jadi selama ini Bang Ketua Kelas naksir sama Beby? Wah, so sweet banget, sih? Gue juga pengen, dong, ditaksir sama Rio Haryanto KW," celetuk Sisil.

Sorak riuh penuh celetukan pun saling sahut-menyahut.

Sejujurnya, aku ingin tertawa ketika mendengar celetukan dari teman-teman. Tingkah mereka ini benar-benar lucu. Tapi, kalau aku tertawa, nanti dikira aku senang. Jadi, kuputuskan untuk menggigit bibir bawahku saja, demi menahan tawa.

Kulihat Ramon hanya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menggelengkan kepala.

"Mon, itu beneran?" tanyaku polos.

Ramon menggeleng. "Nggak."

"Alah, ngaku aja, lo, Mon!" celetuk Andre. Andre akhirnya tertawa. Kulihat, Reyhan sedang nyengir di sebelah Andre.

Apa? Andre?! Kenapa Andre ikut campur? Harusnya dia cemburu. Ah, tapi, kan, gebetannya Andre bukan aku. Nasib.

"Enggak!" Ramon tetap mengelak. Ia kemudian bangkit dari duduknya dengan kasar.

"Eh, eh, duduk duduk," Arif menitah Ramon. Tangannya menekan bahu Ramon untuk mengisyaratkan sebuah perintah: duduk. Ramon pun kembali duduk.

"Santai, santai," Ago menimpali.

"OK, OK. Ini cuman bercanda kok." Arif berbicara pada seluruh penghuni kelas. Ia lalu nyengir dan meminta maaf. Ia kemudian mendapat sorakan penuh kekecewaan dari teman-teman.

Kupandang Ramon sambil nyengir. Ia sedang mencengkeram kepalanya dan mengacak rambutnya. Diusapnya kembali wajah tampannya dengan kedua telapak tangannya. Ia terlihat cukup kesal.

"Maafin gue, Mon." Kuhadapkan wajahku tepat di depan wajahnya. "Lo nggak marah, kan?"

Ramon menghela napas panjang. "Nggak kok." Ia kemudian tersenyum kikuk.

"OK, sebagai permintaan maaf gue, gue bakal traktir lo deh," bisikku kepadanya. "Gimana?"

"Serius?"

"Iya, lah."

Lama mata kami saling bertukar pandang, Ramon akhirnya mengangguk, mengiyakan tawaranku.

**

Lama menunggu Ramon di kantin, ia akhirnya datang. Katanya, ia mau kutraktir asal berdua saja denganku. Katanya, ada yang ingin ia bicarakan. Mau curhat, katanya.

"Mau curhat apaan, Mon?" tanyaku.

"Bentar."

Ramon memesan makanan dan minuman setelah sempat menanyaiku ingin memesan apa. Dia memang aneh. Padahal aku yang berjanji akan menraktirnya. Bukannya harusnya aku yang memesan?

Setelah memesan makanan dan minuman, Ramon akhirnya kembali duduk di hadapanku dan mulai menceritakan sesuatu.

"Gue mau minta maaf sama lo."

Aku mengernyit. "Minta maaf buat apa?"

Ramon terdiam beberapa saat. Matanya menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti maksudnya. "Ya, minta maaf aja. Gue yakin, lo sebel sama gue." Ramon menyeringai.

Real Partner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang