Pesta Ago yang semula dijalani dengan riang, kini berubah menjadi tegang. Bagai menciptakan atmosfer yang kelam. Membagikan warna suram. Menumbuhkan gejolak dalam dada yang semula hanya terdiam. Mengakar emosi dari sanubari hingga jauh ke dalam.
Sungguh, aku tak mengerti dengan kenyataan. Mereka terlalu kejam. Mereka telah datang menghujam.
Sangat tajam, hingga berhasil menusuk dan mencabik senjaku yang kan menghantar malam."Jadi, selama ini kalian udah tau? Kalian bohongin gue?" tanyaku parau. Tenggorokanku mulai terasa tercekat. Mataku panas.
Mereka berempat masih saja terdiam.Candy menggeleng, meraih tanganku. "Beb."
Kuhempaskan genggamannya sebelum Candy sempat berkata lebih banyak lagi. Semua menatapku."Apa kalian nganggep gue sahabat, huh?" Aku tersenyum kecut, menahan tangis walau mataku sudah berkaca-kaca. Kugigit bibir bawahku, kutatap mereka satu persatu.
"Apa ini yang namanya sahabat?!" kubentak mereka hingga menarik atensi para tamu lain.
Kini, para anggota Rehat—sahabatku yang ternyata dengan entengnya sukses membohongiku telah memalingkan pandangan dariku.
Kecuali Reyhan. Hanya dia yang berani menatapku.
Kulangkahkan kakiku untuk pergi, tak betah terlalu lama di sini. Terlebih sudah banyak pasang mata yang telah menyadari kami.
Aku berlari begitu saja, menabrak bahu Reyhan yang sedang mematung, berjalan cepat melewati banyaknya orang yang sedang membaur dengan nada alunan gitar Ago yang tercipta oleh salah seorang teman satu angkatanku.
Aku tak mempedulikan tatapan orang-orang sekitar, termasuk Andre dan Ramon. Aku terus berjalan cepat, sebelum air mataku menetes dan mereka melihat itu.Aku keluar dari halaman rumah Ago, berlari sambil meraih ponsel pintarku dari dalam sling bag, dengan tujuan memesan ojek online.
Baru akan membuka aplikasi, sebuah tangan tiba-tiba menahanku. Kutoleh sang pemilik tangan, dia sedang menatapku panik. Ia sudah berada di atas motor yang ia hentikan tepat di sampingku.
"Gue anter lo sampai rumah," ucapnya.
"Enggak, Mon. Gue lagi pengen sendiri." Aku menyingkirkan genggaman tangannya dari tanganku.
"Naik, atau gue bilangin Ago kalau lo lagi nangis?"
Astaga, aku baru sadar, pipiku sudah basah oleh air mata. Kuseka air mataku.
Aku akhirnya naik ke motor Ramon. Duduk menyamankan diri, berusaha tenang. Walau nyatanya tak semudah itu.
Ramon melajukan motornya, meninggalkan tempat ramai yang mungkin sedang bertambah ramai karena aku.Ramon mengubah posisi kaca spionnya hingga aku bisa melihat pantulan wajahnya. Itu artinya, ia juga bisa melihatku. "Jangan nangis, Beb."
**
Tak ada gunanya lagi aku menangis meratapi semua yang terjadi. Yang ada hanya aku semakin lemah dibuatnya. Itu tidak boleh terjadi.
Aku harus kuat.
Tanpa Rehat.
Malam ini ponselku terus bergetar. Kulirik tanpa membukanya, ada beberapa pesan di LINE dari masing-masing anggota Rehat. Mungkin juga aku mendapat pesan di WhatsApp dari mereka.
Aku menyeringai.Rehat? Rekan Curhat? Apa-apaan dengan nama itu? Apa-apaan dengan aku yang statusnya termasuk anggotanya? Nyatanya, mereka tak menganggapku rekan curhat mereka.
Miris.
Mungkin mereka tak menganggapku sahabat.
Ya, aku bukan sahabat mereka.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang dengan tangan telentang dan kaki menjuntai ke bawah. Aku menatap langit-langit."Neng Beby," panggil Bi Esih setelah mengetuk pintu kamarku yang sengaja kukunci.
Kuhela napas panjang, memerintah diri sendiri untuk tenang. "Iya," suaraku bergetar."Di bawah ada Neng Candy, sama Reyhan. Neng Beby nggak mau turun?"
Aku bangkit lalu duduk. "Nggak, Bi." Kutelan air ludahku. "Aku nggak mau."
"Turun, atuh, Neng. Kasihan, udah nunggu dari tadi."
"Beb," kudengar suara Ago memanggil. Aku mendelik kaget.
"Beb, please, bukain pintu." Ago mengetuk pintu kamarku.
“Ngapain lo di sini?” tanyaku ketus.
“Beb, maafin kita,” ucap Ago.
“Gue lagi pengen sendiri.”
“Beb...”
“Gue lagi pengen sendiri!”
Setelah itu, aku tak mendengar suara Ago maupun Bi Esih memintaku untuk keluar dari kamar. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku ketus bukan berarti tak peduli. Aku hanya tak mau lebih tersakiti.
**
Pagi ini aku berangkat. Tidak ada pelajaran, hanya pembagian nilai UAS dari beberapa mata pelajaran.
Dan, aku sama sekali belum mengajak para sahabatku bicara. Kami saling mendiamkan. Entah karena memang tak mau mengajak bicara atau mungkin tak mampu.
Di sekolah, seharian ini, bahkan aku tidak mengobrol dengan teman sebangkuku−Velly. Aku hanya mengobrol dengan Ramon dan teman perempuan lain. Beberapa teman juga menanyaiku tentang alasan mengapa aku pulang duluan di pesta Ago kemarin. Aku hanya menjawab “nggak pa-pa.”
Di saat pulang sekolah, Reyhan menungguku di gerbang.
“Beb,” panggilnya ketika aku melewatinya. Ia turun dari motor. Mengejarku, dan meraih tanganku.
Aku berdecak, kuhempaskan genggaman Reyhan dari tanganku. Aku lanjut berjalan begitu saja tanpa memedulikannya.
Baru beberapa langkah aku menjauh dari Reyhan, perasaanku sudah kacau. Sejujurnya, aku ingin menoleh ke belakang, kepada Reyhan. Namun, aku tak mampu. Takut perasaanku akan lebih hancur dari ini. Terus saja aku berjalan.
Setelah beberapa langkah, sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti di sampingku. Aku melonjak kaget ketika klakson motor itu dibunyikan. Kutoleh, Ramon sedang tersenyum.
“Yuk, naik,” titahnya.
Setelah sedikit lama berpikir, aku akhirnya mau duduk di jok motor Ramon. Ramon mengantarku pulang.
Sekali lagi, aku hanya tak ingin lebih hancur dari ini.
Apa aku egois?
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Partner ✓
Teen Fiction[COMPLETED] Beby mengumumkan rencana gilanya untuk mendapatkan Andre. Ia membentuk suatu kelompok bersama sahabatnya di bidang kemanusiaan dengan nama Rehat-Rekan Curhat. Tujuan awalnya hanya untuk menelisik Andre lewat curhatannya. Tapi, Rehat just...