#7 Junna

255 37 1
                                    

Sedari dulu sebelum Juno bertemu dengan Ghina di ekstrakurikuler PMR, Juno tidak pernah tertarik dengan urusan percintaan di masa remaja. Baginya jatuh cinta itu aneh dan bahkan sedikit menjijikan. Bayangkan saja, keseharian Juno melihat teman-teman seperkongkolannya tidak berhenti membicarakan dan menyombongkan bagaimana sosok perempuannya itu membuat Juno ingin muntah. Bagi Juno, perempuan itu bukanlah sebuah obyek yang harus dipamerkan kehebatannya, namun harus dijaga sebaik-baiknya.

Lagi pula, Juno tidak bermaksud membenci teman-temannya yang begitu, kok. Ia hanya membenci bagaimana kebanyakan laki-laki bersikap dengan mempermainkan perempuan seolah-olah mereka adalah mainan. Belum lagi dengan urusan pemberi harapan palsu dan perselingkuhan. Juno pikir apa yang dilakukan oleh laki-laki seperti itu sangatlah tidak bertanggung jawab. Mempermainkan seseorang, apa pun konteksnya bukanlah perilaku yang patut dibanggakan.

Meski begitu, se-anti apa pun Juno pada urusan jatuh hati, ia mengaku kalah dihadapkan dengan perempuan seindah Ghina Nabila.

"Halo, aku Ghina."

Tiga kata pertama yang membuat Juno salah tingkah. Ia pikir seumur hidupnya, ia tidak akan menemukan perempuan yang benar-benar mau mengenal Juno bukan karena tampang, namun murni karena ingin berteman.

"Juno."

Sudah, begitu saja Juno menjawab. Juno mengakui tidak secepat itu ia jatuh hati pada Ghina, apalagi tiga kata pertama yang perempuan itu sampaikan padanya sudah menjadi hal lumrah ia temui pada beberapa waktu, membuat Herjuno Pratama agak tidak mengindahkan kehadiran teman-teman perempuannya yang lain. Maka dari itu, Juno dikenal galak dan judes. Entah apa yang membuat Juno begitu, tetapi ia sendiri tidak merasa begitu, kok.

Memang agak tidak tahu diri Juno ini kadang.

"Bosen ya, Jun?"

Ghina, entah karena polos atau memang tidak paham situasi dan kondisi mencoba merangsek ketenangan Juno menatap api unggun. Sebetulnya agak aneh kalau Juno tidak mengenal Ghina, mengingat mereka satu kelompok piket selama setengah semester kemarin. Akan tetapi, Juno tidak bohong kalau dirinya memang tidak tahu menahu bahwa ada sosok Ghina Nabila di kelompok piket UKS-nya.

Juno hanya menganggukkan kepala, seraya mengamini apa yang Ghina katakan. Teman kelompok tidurnya sudah mulai memisahkan diri, beberapa panitia Makrab PMR pun sedikit demi sedikit bergabung untuk tidur, hanya beberapa yang berjaga untuk memastikan tidak terjadi apa-apa.

"Kita satu kelompok piket ya, Jun?"

"Iya, kayaknya?"

Ghina tersenyum simpul, tidak berminat melanjutkan percakapan dan berganti mengarahkan kedua tangannya ke arah api unggun, berusaha mencari kehangatan dari sana. Siluet Ghina terpantul dari sisi, Juno masih anteng menghangatkan diri. Sekilas walau tidak begitu jelas-itu pun tidak sengaja Juno melirik—Ghina tampak tidak baik-baik saja.

"Na, kamu nggak apa-apa?"

"Hah?" sahut Ghina, tidak memahami apa maksud Juno.

"Itu." Juno menunjuk hidungnya sendiri.

"Oh, ini." Ghina refleks mengikuti Juno, menunjuk, bahkan menyentuh hidungnya yang tampak kemerahan. Tidak hanya hidung, bahkan pipinya ikut membuat bercak merah muda, terlihat seperti blush. "Aku biasa kayak gini kalau kedinginan, Jun. Nggak perlu khawatir."

"Terus kamu ngapain keluar, sih? Mending tidur aja di dalem tenda!"

Tanpa dipinta, Juno melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian memakaikannya kepada Ghina. Tentu saja perempuan itu terkejut tatkala Juno menyelimutinya dengan jaket dan membiarkan lelaki itu kedinginan sendiri.

"Jun, nggak usah, kamu juga dingin."

"Nggak," sahut Juno tegas. "Aku masih ada jaket di tas, lagian api unggunnya cukup buat anget. Kamu mending tidur aja ke tenda, Na."

"Terus jaket kamu?"

"Kamu pake dulu aja, Na."

"Tapi-"

"Nggak ada tapi, kalau kamu pingsan karena kedinginan yang repot kita semua, Na."

Ghina dibuat bungkam, apa yang Juno katakan ada benarnya, lagi pula tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk lagi-lagi menolak apa yang Juno berikan padanya. Di sisi lain Ghina jadi teringat ucapan teman-temannya yang bilang bahwa Juno itu tidak ramah pada perempuan. Tapi Ghina tidak melihat Juno dari sisi seperti itu, Ghina hanya melihat Juno berusaha untuk tidak begitu dekat karena menghargai mereka, perempuan. Dilihat dari sudut pandang mana pun, untuk beberapa urusan yang normal, Juno tampak biasa-biasa dalam bersikap kepada perempuan, tidak seperti yang teman-temannya katakan. Akan tetapi, patut digaris bawahi, Ghina pun tidak pernah berminat untuk jatuh hati pada Juno. Tidak sampai Juno yang memulai perasaan berbunga itu hadir mengisi sudut hati kecil Ghina sendiri.

"Tidur gih, Na," pinta Juno lagi.

Ghina mengangguk. "Aku duluan ya, Jun."

Melepas kepergian Ghina yang menuruti perkataannya, Juno tampak tidak terima dengan perilaku yang baru saja ia lakukan. Ada yang aneh, katanya. Juno sendiri masih heran, bagaimana bisa ia refleks memberikan jaketnya kepada perempuan yang bahkan ia sendiri belum begitu mengenalnya dekat? Bagaimana bisa ia merasa apa yang baru saja ia lakukan itu benar? Ia mengaku menghargai perempuan, namun apakah cara seperti ini tidak berlebihan?

Terlepas dari seluruh rasa bingung yang menyelimuti Juno, ia tidak memungkiri bahwa merasa nyaman dan tenang melihat Ghina menerima bantuannya. Malam yang sunyi dengan api unggun beberapa menit lalu pun seakan-akan menjadi satu hal yang menyenangkan untuk dikenang, dan itu dikarenakan oleh satu nama. Ghina Nabila.

Altogether at OnceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang