8. Mulai dekat?

515 86 2
                                    

Rania baru saja keluar dari rumah, tetapi langsung dibuat terkejut tatkala melihat seorang pemuda di depan rumahnya yang tengah duduk santai di atas motor sambil menebar senyum cerah.

Gadis berambut panjang itu mendelik. Jelas tak menyukai kehadiran Alvin yang entah bagaimana bisa mengetahui rumahnya. Ia segera mendekat, menyorot pemuda itu nyalang. "Ngapain di sini?"

"Jemput lo."

Rania membulatkan mata. "Gila lo. Gimana lo tau rumah gue?" tanyanya menyelidik.

Alvin tak langsung menjawab, dia turun dulu dari motor. Memasang senyum manis. Sebenarnya waktu itu Alvin pernah mengikuti Rania saat pulang. Namun, tidak mungkin dia mengaku pada Rania saat ini. Itu namanya bunuh diri. Jadi, alih-alih mengaku, pemuda itu malah cengengesan dan berkata singkat, "Kepo."

Rania dibuat geram. Seumur hidup, baru kali ini dia bertemu orang yang lebih menyebalkan dari kakaknya. Entah apa tujuan Alvin sebenarnya. Pemuda itu tak pernah kapok meski sudah berkali-kali dikatai dan diusir.

"Jangan kira setelah gue nebeng lo waktu itu, sekarang gue mau ikut sama lo lagi."

"Lo pasti mau." Alvin berkata dengan percaya diri.

"Lo batu banget jadi orang."

"Iya gue emang batu. Makanya lo harusnya jadi palu kalo mau buat gue berhenti." Alvin justru membalas ceria.

Rania mendelik. "Dasar aneh."

Alvin masih mempertahankan senyumannya. "Makasih, aneh itu unik." Balasan Alvin membuat Rania semakin keki, tapi hal itu juga berhasil membuatnya tak bisa mengatainya lagi.

Alvin mengulum senyum, akhirnya dia bisa membuat gadis itu bungkam. Pemuda berwajah tengil itu melipat tangan di dada seolah sedang menantang. "Gak usah nolak. Kali ini gue senang hati jemput lo ke sekolah loh."

Rania mencibir, "Gue mau berangkat bareng kak-"

"Oh-Kak! Hallo!" Ucapan Rania terputus oleh sapaan hangat Alvin kepada Aris yang baru saja keluar rumah. Rania menoleh. Berdecak kecil melihat kakaknya keluar di waktu yang tak tepat.

"Wah ada Alvin." Aris menghampiri dua insan yang terlihat tengah bersitegang di sana. Lalu berdehem panjang sambil mencolek lengan Rania untuk menggodanya. "Cie, ternyata kalian deket, nih," goda Aris sambil mengedutkan kedua alis.

"Kak, gak usah lebay. Mana ada kita deket."

"Bisa kalo diusahain." Alvin menyambung.

Rania menatapnya dengan tajam. Aris mengulum senyum menahan gemas. Rania menarik lengan Aris, sudah malas membalas Alvin. "Kak, ayo berangkat."

"Loh kenapa? Bukannya Alvin ke sini mau ngajak berangkat bareng, ya?"

Alvin tertawa pelan. "Wah, tebakan hebat. Jadi boleh gak nih, Kak?"

"Gak!" Rania segera menolak tegas.

"Dia nanya kakak bukan kamu."

"Tapi aku berhak nolak." Rania balas galak. Ia kemudian menatap Alvin lagi. "Mending lo pergi. Gak usah sok kenal."

Aris menggeleng tak habis pikir. Mendorong kepala adiknya dengan tanpa perasaan. "Gak boleh gitu. Kamu kasar banget sama orang yang punya niat baik."

"Niat baik apanya? Dia itu lagi manfaatin kesempatan." Rania kini memelototi kakaknya. Aris bergidik, sepertinya Rania benar-benar marah sekarang. Sementara Alvin yang sedang dibahas justru sedang anteng ayem menonton perdebatan mereka.

"Manfaatin keadaan gimana? Lagian kenapa sih kamu sensi banget sama dia?"

"Ya karena dia udah-" Kalimat Rania terhenti di ujung lidah. Ia menelan ludah, sekaligus menelan semua kalimat yang hampir dia ucapkan. Gawat, dia hampir keceplosan bilang kalau Alvin sudah menciumnya. Bahaya kalau Aris tahu.

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang