12. Rasa bersalah

447 73 9
                                    

Dunia ini tidak pernah sesederhana yang kita tahu. Bahkan meski sudah diulik tiada henti oleh para ahli dan ilmuan, tetap saja banyak sekali misteri yang belum terpecahkan.

Tentang keberadaan makhluk mitologi misalnya?

Dalam bangsa vampir ada dua jenis kategori pembeda. Satu, mereka yang hidup jauh dari bangsa manusia—bersembunyi di lembah dan pengunungan tinggi. Kemudian yang kedua adalah mereka yang tinggal berdampingan dengan manusia—berbaur sembari menyembunyikan jati diri mereka.

Elisa ada di kategori kedua. Hidup dan berbaur dengan manusia, tapi juga berkawan dengan beberapa orang dari bangsanya. Sejujurnya, sangat sulit untuk membedakan mana manusia dan mana vampir jika hanya dilihat dengan mata. Ciri-ciri tubuh mereka sama persis. Jika ingin mengenali mereka biasanya Elisa menggunakan beberapa cara.

Yaitu dengan cara bersentuhan dan merasakan betapa dinginnya kulit mereka dibanding suhu tubuh manusia normal. Lalu terkadang dengan melihat kilatan mata mereka yang biasanya akan berkilat merah setiapkali melihat darah— dan karena Elisa bekerja di rumah sakit, pada awalnya dia cukup terkejut karena menemukan ada banyak sekali vampir yang berbaur di sini.

Oh, ya ada satu lagi cara mengenalinya, yaitu dengan membaca pikiran. Jika manusia akan terbaca pikirannya setelah bersitatap selama 10 detik, untuk sesama vampir tak akan bisa membaca pikiran masing-masing.

Wanita itu menghela napas. Karena cara mengenali mereka yang harus ekstra teliti, kini Elisa lebih kesulitan karena sekarang dia sudah harus lebih menjaga putranya.

Mereka mulai tahu keberadaan Alvin. Elisa harus benar-benar waspada, bahkan meski nyawanya yang dipertaruhkan, yang terpenting Alvin harus selamat.

Elisa tersenyum miris. Memandangi wajah putranya dengan sorot sendu. Ini semua karenanya. Sebab kesalahan yang dia buat, justru malah Alvin yang kena imbas.

Andai dia tak membangkang orang tuanya.
Andai dia tak menikah dengan manusia.
Kutukan ini ... Tak akan mungkin terjadi. Alvin tak akan jadi manusia setengah vampir yang diburu oleh vampir lain.

Seandainya ... Dan seandainya ... Elisa tak punya kekuatan mengembalikan waktu untuk mengubah takdir putranya.

"Maafin, Mama." Ia bergumam pelan. Memejamkan mata sejenak agar airmatanya tak tumpah. Baru setelah itu ia mengusap pucuk kepala Alvin lembut, membuat anak itu menggeliat, perlahan membuka matanya.

Alvin langsung tersenyum. "Selamat pagi, Ma."

"Pagi juga, Sayang. Ayo bangun, kamu harus sekolah. Hari ini juga hari pertama Kak Dava masuk sekolah kamu, jadi tolong bantu dia, ya."

Alvin mengangguk. "Iya."

****

"Inget, nanti di sekolah lo gak boleh sok kenal sama gue. Jangan sampai ada orang yang tau kalo kita sodaraan."

Alvin menatap Dava yang sudah duduk di motornya sendiri dengan tatapan protes. "Kenapa harus segitunya?"

"Lo masih tanya alasannya apa?" Dava balas bertanya. Tatapannya dibuat nyalang, seolah sedang menegaskan jika Alvin sendirilah penyebabnya.

"T-tapi ... kenapa?"

"Ini yang gue benci dari lo, Rey. Lo selalu bersikap seolah gak punya salah apa-apa." Dava menjawab sarkas. Ia memutar kunci motornya, hendak pergi lebih dulu. Akan tetapi Alvin segera menahan bagian depan motornya, sengaja berdiri di sana untuk menghalangi.

"Salah gue apa sih, Kak?"

"Gue bilang jangan pernah panggil gue kakak!"

"Terus gue harus panggil apa?! Lo kakak gue!" Alvin balas berteriak, tapi kemudian suaranya memelan lagi disertai raut wajah yang begitu sendu. "Gue serius nanya sama lo. Salah gue apa sampe lo segitu bencinya sama gue?"

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang