13. Lucu ya?

430 71 5
                                    

"Ran."

"Hm."

"Rania."

Sang empunya nama berdecak sebal, akhirnya mengangkat pandangan dari buku catatan untuk membalas tatapan oknum yang seharusnya ikut membantu mengerjakan tugas kelompok mereka dan bukan malah mengganggunya seperti ini.

"Apa sih?"

"Gitu dong, kalo ada yang manggil itu jawab sambil lihat orangnya." Alvin tersenyum tipis. Sengaja menumpu wajah sembari memandangi wajah cantik di hadapannya. Yang tentu saja membuat si gadis jadi merasa tak nyaman sendiri.

"Apa liat-liat? Cepek kerjain bagian lo! Gue pengen cepet-cepet pulang."

"Tenang aja sih, tugas kayak gini mah gampang. Harusnya bersyukur satu kelompok sama gue. Gue ini juara kelas!"

Rania mencibir dengan kesombongan pemuda itu. "Kalo gitu bisa gak jangan banyak omong dan selesain tugas kita?"

"Lo kaku banget dah jadi orang, susah banget diajak ngomong. Gue tuh lagi gabut, pengen ngobrol gitu. Dari awal kita ke sini kita diem-dieman terus." Alvin mencebikkan bibir. "Ayo dong kita bincang-bincang dikit gitu, biar gak mumet amat mikirin tugas. Lagian ... kita cuma berdua, jadi gak usah terlalu jaim."

Rania menghela napas pelan. Tanpa terduga ia menutup buku paket yang dia gulati sejak tadi. Secara tak langsung menyetujui ajakan Alvin.

Tahu maksud pergerakan Rania, senyum Alvin melebar begitu saja. Ia memperbaiki dudukkannya, menarik kursi lebih mentok ke meja. "Mulai dari gue ya, gue mau nanya nih Ran sama lo. Lo ... suka mikir kan?"

"Ha?" Rania mendelik aneh. "Lo pikir gue gak punya otak?"

"Bukan gitu, gue cuma penasaran sama apa yang sering lo pikirin."

Kerutan di dahi Rania semakin jelas. Pertanyaan Alvin semakin membuatnya bingung. "Kenapa lo pengen tau apa yang gue pikirin? Dan kenapa gue harus kasih tau apa yang gue pikirin?"

Alvin menyengir lebar. "Penasaran aja."

Rania hanya bisa menghela napas walau dibuat jengkel. "Gue bener-bener gak ngerti gimana jalan pikiran lo."

Senyum Alvin tersungging miring. "Gue juga gak ngerti dan gak bisa ngerti sama jalan pikiran lo," katanya penuh makna. Meski kalimat selanjutnya membuat Rania semakin tak habis pikir. "Karena itu .... ayo kita satukan pikiran kita. Supaya jadi satu arah dan satu tujuan." Di akhir kalimat ngaconya itu ia tersenyum lebar.

"Bener kata Fira, lo agak sinting." Rania membalas pedas. Moodnya untuk mengobrol seperti yang Alvin inginkan, langsung hancur oleh pemuda itu sendiri.

"Fira beneran ngomong gitu ke lo?" Wajah Alvin mendadak masam. "Dia bener-bener jahat. Harusnya lo jangan bergaul sama orang jahat."

"Lebih baik gitu daripada bergaul sama manusia aneh kayak lo."

Bibir Alvin melengkung ke bawah. Cemberut layaknya anak kecil yang habis dimarahi. "Ternyata lo lebih jahat."

Sungguh, jika ada saja memukul seseorang bukanlah tindakan kekerasan dan tercela, rasanya Rania ingin sekali memukuli wajah menyebalkan pemuda itu sekarang. Ekspresi  Alvin saat ini adalah ekspresi paling mengesalkan yang pernah Rania lihat.

"Sekarang gue paham kenapa Fira selalu dibuat frustasi kalo sama lo. Lo itu ... ngeselin banget."

"Tapi ganteng."

"Percuma ganteng tapi—"

"Cie yang ngakuin gue ganteng." Alvin segera memotong ucapan Rania. Sengaja menggoda si gadis.

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang