7. Petir

3.4K 538 18
                                    

Seperti hal biasa yang dilakukan pelajar saat di rumah, Belajar dan mengerjakan tugas.

Aku dan Keiji mengerjakan tugas di ruang keluarga. Jangan tanya kemana orang tuaku karena aku sudah menjelaskannya sebelum-sebelumnya.

Karena besok masih sekolah jadi kita fokus untuk mengerjakan tugas malam ini. Kita mengerjakan tugas bersama karena kebetulan tugas yang di berikan sama.

Kita saling berpendapat, berdiskusi, dan memikirkannya dengan serius. Tidak lupa dengan tanganku yang masih asik mencomot cemilan yang aku sediakan sebelumnya.

"Aku tadi lihat itu halaman 78 *nyam**nyam*"
"Itu kan contohnya."

Ditengah kebisingan suara kita yang sedang berdebat, suara hujan terdengar, yang dari awalnya pelan menjadi deras. Aku langsung berhenti mengunyah sebentar, memastikan bahwa itu benar suara hujan.

"Keiji, hujan."
"iya tahu."

Aku sengaja membuka gorden agar bisa melihat rintikan air hujan yang turun dari langit.

Aku masih memperhatikannya dan mengabaikan Keiji yang masih bergelut dengan soal. Hujan di malam hari itu enak banget ya.

Saat sedang asik melihat rintikan air hujan, rasa ingin menonton film horror pun hadir pada diriku yang lumayan penakut ini.

"Nee, Keiji! Bagaimana jika kita nonton film horror?"

"Kitakan masih punya tugas." Keiji menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Aku memajukan bibirku, "Kan tugasnya masih di kumpulkan 2 hari lagi."

Keiji menutup bukunya lalu menatapku, "Lagi pula, kenapa [y/n] yang penakut ini tiba-tiba ingin nonton film horror hm?"

Aku tak membalas tatapannya, "Emm... cuacanya mendukung." Keiji mengelus pucuk kepalaku, "Kalo takut jangan salahin aku ya."

Aku tersenyum, tumben Keiji ingin menduakan tugasnya. Keiji memutar filmnya sedangkan aku duduk manis di sofa menunggu filmnya mulai.

Film masih menunjukan keadaan sang tokoh utama yang masih baik-baik saja karena ini masih awalan, belum memasuki konflik.

Setengah jam kemudian adegan sudah mulai menegangkan. Aku menggenggam erat baju bawah Keiji sambil sesekali menutupi wajahku dengan bantal yang ada dipangkuanku.

tiba-tiba ada cahaya putih yang menyilaukan sekilas dan akan membuat beberapa orang ketakutan. Termasuk aku.

Aku langsung memepetkan badanku dengan Keiji, berusaha mengumpat di balik badannya, walau hanya kepalaku yang berhasil masuk lewat celah tangannya yang memeluk kedua lututnya.

Aku menutup mataku dan telingaku kencang-kencang seakan-akan berusaha agar tidak ada satu suarapun yang masuk.

Keiji memandang kepalaku yang berada di dadanya bingung. Tak lama setelah kilat tersebut, suara gemuruh petir terdengar kencang bersamaan dengan lampu yang padam.

Aku bukan tipe orang yang kalau ketakutan akan langsung teriak, hanya badanku saja yang menegang dan kaku digerakkan.

Keiji meluruskan kedua kakinya, memberi ruang pada kepalaku yang tadi memaksa masuk.

Keiji mengelus suraiku pelan, dia tahu kalau aku takut dengan petir, "Mati listrik. Aku akan mencari lilin dulu."

"I-ikut."

Keiji bangkit dari duduknya dengan aku yang masih setia menempel pada badannya.

Suara gemuruh petir masih terdengar walaupun tidak terlalu besar. Aku masih menempel pada Keiji, memeluknya erat seakan-akan tidak ingin kehilangannya.

"[y/n], bisa tolong lepaskan aku? Aku sesak." Aku menggeleng kuat. Dapat aku dengar Keiji menghela napasnya berat.

Api lilin di hadapan kami bergoyang kesana kemari mengikuti arah angin. Suara gemuruh petir belum juga hilang. Dan jangan lupakan sang hujan yang masih berguyur dengan deras.

Kita berdua tidak melakukan apapun. Suasana seperti ini membuatku mengantuk. Tanpa ku sadari, perlahan-lahan mataku tertutup. Kepalaku pun ikut menurun akibat kurang kekuatan.

Tapi sebelum sepenuhnya tertidur, Keiji menyadarkanku, "Ayo tidur di kamar, di sini dingin."

Seolah-olah nyawaku sudah terangkat setengah, aku hanya meng-iya-kan saja ucapannya. Aku menggenggam tangan Keiji sampai menuju kamarku.

Sampai kamar, Keiji menyuruhku berbaring, "Tidurlah."

Aku berjalan kearah kasur tanpa melepas genggaman tanganku, menarik Keiji agar ikut bersama ku.

Keiji yang mengerti maksudnya hanya ikut saja. sebenarnya ia juga tidak tega meninggalkanku sendirian.

Kita tidur berdua di kasurku. Keiji menyampingkan tubuhnya menghadapku sedangkan aku mencari tempat yang nyaman dan aman.

Aku mendekat pada Keiji. Punggungku aku tempelkan pada dadanya yang bidang, kepalaku berada di bawah dagunya. Selimutku menutupi badan kita berdua sampai atas lengan.

Benar-benar, ini kehangatan yang sesungguhnya. Punggungku merasa sangat hangat berada di dadanya. Aku merasa aman jika seperti ini. Mau itu hantu, pembunuh, ataupun petir, Rasanya tidak apa-apa.

Aku yakin wajah Keiji merona. Sayang aku tidak bisa melihatnya karena minim cahaya dan aku yang membelakanginya.

Keiji membalasnya. Ia merengkuhku lebih dalam. Rasa hangat dan nyaman bertambah pada diriku.

Mati lampu, hawa dingin hujan, suara gemuruh petir yang mulai mengecil, dan berada di dekapannya.

Ahh, ini terlalu sempurna.

.

.

.

.

(✿❛◡❛)

Teman Tapi Mesra [Akaashi Keiji]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang